Sabtu, 27 Mei 2017

TAFSIR BIL RA'YI



  
BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Allah SWT menurunkan kitab-kitab kepada rasul-rasulNya, sebagai panduan dalam mengembangkan dakwah, untuk mengikat kaidah-kaidah agama dengan persoalan-persoalan keyakinan ummatnya. Para nabi dan rasul terus membangun dan menyebrkan agama-agama Allah sampai diutusnya Rasulullah SAW dan diturunkannya kitab suci al-Qur’an.[1]
Penggalian makna yang tersimpan di dalam setiap ayat Al-Qur’an harus dilakukan dengan usaha penafsiran yang mendalam dengan tetap mengacu  pada syarat-syarat yang harus dipenuhi seorang mufassir dan tidak melenceng dari ajaran Islam yang sebenarnya. Al-Qur’an secara teks memang tidak berubah, tetapi penafsiran atas teks, selalu berubah, sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Hingga aneka metode dan tafsir diajukan sebagai jalan untuk membedah makna terdalam dari Al-Qur’an itu.
Kemampuan setiap orang dalam memahami Al-Qur’an dan ungkapan Al-Qur’an tidaklah sama. Kenyataan tersebut melahirkan berbagai metode yang digunakan dalam menjelaskan suatu redaksi. Untuk menafsirinya tergantung kepada kecenderungan para mufassir, serta latar belakang keilmuan dan sudut pandang yang digunakan. Para ulama telah sepakat berkaitan dengan pengklasifikasian tafsir al-Qur’an dilihat dari sumber penafsirannya, maka dalam makalah ini akan didiskripsikan salah satu metode yang digunakan untuk lebih mudahnya memahami al-Qur’an dengan metode tafsir bi al-ra’yi.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian tafsir bil ra’yi?
2.      Bagaimana pendapat para Ulama’ mengenai keabsahan tafsir bi ar-Ra’yi?
3.      Bagaimana metode penafsiran tafsir bi ar-Ra’yi?






BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian
     Berdasarkan pengertian etimologi, ra’yi berarti keyakinan (i’tiqad), analogi (qiyas), dan ijtihad. Dan ra’yi dalam terminologi adalah ijtihad. Dengan demikian tafsir bi ar-Ra’yi, (disebut juga tafsir Ad-Dirayan). Bagaimana didefinisikan adz-Dzahabi adalah tafsir yang penjelasannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah mengetahui bahasa Arab dan metodenya, dalil hukum yang ditunjukkan, serta problema penafsiran, seperti asbab nuzul, dan nasikh-mansukh.[2]
Adapun Al-Farmawi mendefinisikannya sebagai berikut: Menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad setelah si mufassir yang bersangkutan mengetahui metode yang digunakan orang-orang Arab ketika berbicara dan mengetahui kosakata-kosakata Arab beserta muatan artinya. Untuk menafsirkan al-Qur’an dengan ijtihad, si mufassirpun dibantu oleh syi’ir jahiliyah, asbab annuzul, nasikh-mansukh dan lainnya yang dibutuhkan oleh seorang mufassir. Sebagaimana diutarakan pada penjelasan tentang syarat-syarat menjadi mufassir.
Dari beberapa pendapat diatas dapat penulis simpulkan bahwa tafsir bi al-ra’y adalah suatu metode tafsir dengan menggunakan kekuatan akal pikiran yang sudah memenuhi syarat dan memiliki pengakuan dari para ulama untuk menjadi seorang mufassir, namun penafsirannya harus tetap sejalan dengan hukum syari’ah tanpa ada pertentangan.
Tafsir bi ar-Ra’yi dibagi menjadi dua, sebagai berikut:
1.      Tafsir bil Ra’yil Mahmud adalah suatu penafsiran yang berdasar dari al-Qur’an dan dari Sunnah Rasul, sedangkan pelaku (mufassir)nya adalah seorang pakar dalam bahasa Arab, baik gaya bahasanya, maupun kaidah-kaidah hukum dan ushulnya.
2.      Tafsir bil Ra’yil Madzmum adalah suatu penafsiran dengan tidak disertai ra’yu, tetapi disertai dengan hawa nafsu. Sebagian besar orang yang menafsirkan al-Qur’an menggunakan ra’yu adalah orang-orang yang mementingkan hawa nafsu dan bid’ah. Mereka menganut paham-paham yang sesat, tidak ada alur periwayatannya yang jelas, tidak ada dalil yang kuat. Kemudian menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan apa yang sesuai dengan pendapat mereka, serta sesuai dengan keyakinan mereka yang palsu. Sehingga penafsiran tersebut mereka bawa ke arah pemikiran yang kosong dan berdasar pada hawa nafsu.[3]
Dalam sebuah hadis diriwayatkan :
من كذّب عليّ متعمدا فليتبوُأ مقعده من النار, ومن قال فى القران برأيه فليتبوّ أ مقعده من النار. ( رواه التر مذ )
Artinya : “Barang siapa mendustakan secara sengaja niscaya ia harus bersedia menepatkan dirinya di neraka. Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan Ra’yu atau pendapatnya maka hendaklah ia bersedia menepatkan dirinya di neraka .”( H.R. Turmuzi dan Ibnu Abbas )
Dan sabdanya pula

من قال فى القران برأ يه فاصاب فقد اخطأ


Artinya : “Dan barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan Ra’yunya dan kebetulan tepat, niscaya ia telah melakukan kesalahan.” (H.R. Abi Dawud dari Jundab) 
Imam Al-Qurtuby, mengatakan bahwasannya hadits Ibnu Abbas tersebut memiliki dua penafsiran:
Pertama          : Barang siapa yang berpendapat dalam persoalan Al-Qur’an yang pelik dengan tidak berdasarkan pengetahuan dari mazhab sahabat atau tabi’in berarti menentang Allah
Kedua             : Barang siapa yang mengatakan tentang al-Qur’an suatu pendapat, sedang ia mengetahui bahwa yang benar adalah pendapat yang lain, maka ia hanya bersedia menempatkan diri di neraka.[4]
                        Riwayat ini, siapapun sumbernya, bermaksud menekan perlunya menempuh cara yang benar dalam menafsirkan al-Qur’an. Bisa jadi ada penafsiran yang sudah sesuai dengan pengertian kebahasaan dan kaidah-kaidah kebahasaan, namun ia tetap tertolak kalau makna yang ditarik dari ayat bertentangan dengan hakikat keagamaan.
Secara umum penafsiran yang terlarang tercermin dalam penafsiran seseorang untuk mendukung prakonsepsinya yang tidak memiliki dasar agama dan logika yang kukuh, tetapi sekadar apa yang terlintas dalam benaknya atau ide keliru yang meresap dalam dirinya.[5]
B.       Pendapat para Ulama’ mengenai keabsahan tafsir bi ar-Ra’yi
     Tafsir bi ar-Ra’yi muncul sebagai sebuah corak penafsiran belakang setelah munculnya tafsir bi al-ma’tsur walaupun sebelumnya ra’yi dalam pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan al-Qur’an. Apalagi kalau kita tilik bahwa salah satu sumber penafsiran pada masa sahhabat adalah ijtihad.[6]
     Kemunculan tafsir bi ar-Ra’yi dipacu pula oleh hasil interaksi umat islam dengan peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal. Oleh karena itu dalam tafsir bi ar-Ra’yi ditemukan peranan akal yang sangat dominan.
Dari sini, muncullah madrasah-madrasah tafsir yang beragam sebagai mana yang kita lihat saat ini. Mengenai keabsahan tafsir bi ar-Ra’yi, pendapat para ulama’ terbagi menjadi dua kelompok :
1.      Kelompok yang melarangnya. Bahkan, menjelang abad II H. corak peafsiran ini belum mendapatkan legistimasi yang luas dari ulama yang menolaknya. Berikut argumentasi-argumentasi ulama yang menolaknya:
a.       Menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ra’yi berarti membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan.
b.      Yang berhak menjelaskan al-Qur’an hanya Nabi
c.       Sudah merupakan tradisi dikalangan sahabat dan tabi’in untuk berhati-hati ketika berbicara tentang penafsiran al-Qur’an.
2.      Kelompok yang mengizinkannya, mereka mengemukakan argumentasinya sebagai berikut:
a.       Di dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan-kandungan al-Qur’an.
b.      Seandainya tafsir bi ar-Ra’yi dilarang, mengapa ijtihad diperbolehkan. Nabi sendiri tidak menjelaskan setian ayat al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa umatnya diizinkan berijtiad terhadap ayat-ayat yang belum dijelaskan Nabi.
c.        Para sahabat Nabi biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukkan bahwa merekapun menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yinya. Seandainya tafsir bi ar-Ra’yi dilarang, tentunya tindakan para sahabat itu keliru.[7]
C.    Metode Penafsiran Tafsir bi ar-Ra’yi
Dalam tafsir bi ar-Ra’yi yang menggunakan metode analisis ini para Mufassir relatif memperoleh kebebasan, sehingga mereka agak lebih otonom berkreasi dalam memberikan intrepetasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara’ dan kaidah-kaidah penafsiran yang muktabar. Itulah salah satu sebab yang membuat tafsir dalam bentuk ar-Ra’yi dengan metode analisis dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam sekali seperti fiqih, falsafi, sufi, ilmi, adabi ijtima’i, dan lain-lain. Sebagaimana telah disebutkan dimuka.[8]
            Kebebasan serupa itu sulit sekali diterapkan di dalam tafsir yang memakai metode global (ijmali) sekalipun bentuknya ar-Ra’yi. Dikarenakan adanya kebebasan serupa itulah, maka tafsir bi ar-ra’yi berkembang jauh lebih pesat meninggalkan tafsir bi al-matsur, sebagaimana diakui oleh ulama tafsir semisal Manna’ al-Qattthan.
Dengan membandingkan keduanya penafsiran itu tampak dengan jelas perbedaan yang nyata. Meskipun keduanya sama-sama menggunakan metode yang sama, tapi dikarenakan yang pertama memakai untuk ma’tsur, maka pemikiran mufassir tidak tampak di dalamnya, sebaliknya pada penafsiran yang kedua menggunakan bentuk ra’yi. Pemikiran mufassir terasa amat dominan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa keduanya tidak pernah mengenyampingkan riwayat, tapi keduanya memakainya. Artinya, riwayat bagi kedua untuk penafsiran itu tetap diperlukan, hanya saja fungsinya berbeda.[9]












BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Tafsir bi al-ra’y adalah suatu metode tafsir dengan menggunakan kekuatan akal pikiran yang sudah memenuhi syarat dan memiliki pengakuan dari para ulama untuk menjadi seorang mufassir, namun penafsirannya harus tetap sejalan dengan hukum syari’ah tanpa ada pertentangan.
Mengenai keabsahan tafsir bi ar-Ra’yi, pendapat para ulama’ terbagi menjadi dua kelompok :
1.      Kelompok yang melarangnya. Bahkan, menjelang abad II H. corak peafsiran ini belum mendapatkan legistimasi yang luas dari ulama yang menolaknya. Salah satu argumennya adalah menafsirkan al-Qur’an berdasarkan ra’yi berarti membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan.
2.      Kelompok yang mengizinkannya, salah satu dari mereka mengemukakan argumentasinya, yaitu di dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan-kandungan al-Qur’an.
Dalam tafsir bi ar-Ra’yi yang menggunakan metode analisis ini para Mufassir relatif memperoleh kebebasan, sehingga mereka agak lebih otonom berkreasi dalam memberikan intrepetasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an selama masih dalam batas-batas yang diizinkan oleh syara’ dan kaidah-kaidah penafsiran yang muktabar.













DAFTAR PUSTAKA

Adz-Dzahabi. 1976.al-Tafsir wa al-Mufassirun. II, t.t.p, Mesir. Dar al-Maktab al-Haditsah.
Ali Ash Shaabuniy, Muhammad.1998. Study Ilmu Al-Qur’an. Alih Bahasa Aminuddin. Bandung. Pustaka Setia.
Anwar, Rosihon.2000. Ilmu Tafsir. Bandung. Pustaka Setia.
Baidan, Nashruddin. 2000. Metodologi Penafsiran al-Qur’an. Yogyakarta.Pustaka Pelajar Offiset.
Fahd bin Abdirrahman ar-Rumi.1996. Ulumul Qur’an. Yogyakata.Titian Ilahi Press.
Shihab, Quraish.2013. Kaidah Tafsir. Tangerang. Lentera Hati.


[1] Fahd bin Abdirrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1996, hlm.37
[2] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, Bandung, 2000,hlm.151. Dapat dilihat juga Adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, II, t.t.p, Dar al-Maktab al-Haditsah, Mesir, 1976
[3] Fahd bin Abdirrahman ar-Rumi, Ulumul Qur’an, Titian Ilahi Press, Yogyakarta, 1996, hlm.209-210
[4] Muhammad Ali Ash Shaabuniy, Study Ilmu Al-Qur’an. Alih Bahasa Aminuddin , , Pustaka Setia, Bandung,1998,hlm.258
[5] Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, Lentera Hati, Tangerang, 2013, hlm.368-369
[6] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, Bandung, 2000,hlm.151
[7] Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, Bandung, 2000,hlm.152-155
[8] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Pustaka Pelajar Offiset, Yogyakarta, 2000, hlm.50
[9] Ibid., hlm.50-51

Tidak ada komentar:

Posting Komentar