Selasa, 30 Mei 2017

Muslimah Hakiki dalam Era Globalisasi



MUSLIMAH HAKIKI DALAM ERA GLOBALISASI
Di era yang serba modern ini, eksistensi Islam lambat laun sudah mengalami banyak perubahan. Seiring berjalannya waktu, spectrum perubahan yang terjadi di masyarakat semakin dinamis. Kehidupan manusia telah sampai pada sebuah era yang menghendaki banyaknya perubahan-perubahan nilai dengan membawa berbagai dampak positif serta negative, yaitu sebuah era yang kita kenal dengan “Globalisasi”.
Globalisasi merupakan sebuah era yang ditandai dengan banyaknya penemuan-penemuan baru diberbagai bidang, dan telah dianggap membawa umat manusia ke perubahan peradaban yang begitu fantastic.
Era ini telah menghilangkan sekat pemisah bagi manusia di segala penjuru dunia, dimana setiap individu bisa mengakses secara mudah perkembangan dan penemuan ilmu pengetahuan yang bergerak semakin cepat.
Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini akan membawa pengaruh besar bagi peradaban umat manusia, khususnya muslimah dan umat Islam pada umumnya. Mengingat bahwa globalisasi tidak hanya membawa dampak positif, maka kita harus mampu memilih dan memilah antara yang baik dan yang tidak baik bagi diri kita. Hal ini bukan berarti kita harus menolak dan terkesan kaku terhadap globalisasi, namun hanya saja kita harus mampu meninggalkan hal-hal yang membawa kemadharatan bagi diri kita.
Globalisasi merupakan suatu kenyataan yang tak mungkin ditolak, oleh karenanya umat Islam harus bersikap kritis terhadap perkembangan yang dibawa oleh globalisasi. Seperti yang telah disampaikan seorang ilmuan muslim, Ibnu Rusyd “Kita perlu menelaah apa yang diucapkan oleh orang lain dan apa yang mereka tulis dalam literature-literatur mereka. Jika ada yang selaras dengan kebenaran, maka harus diterima dengan senang hati. Tetapi, jika ada yang bertentangan dengan kebenaran, maka kita harus berhati-hati dan menghindarinya”. Dengan penyikapan yang kritis ini, dalam satu sisi kita tetap bisa tetap menjaga identitas kebudayaan islam sendiri, dan disisi lain kita tidak terpinggirkan dari perkembangan zaman dan kebudayaan yang hidup didalamnya.
Menjadi Muslimah Hakiki
Wanita shalihah adalah keberkahan bagi seluruh alam. Rasulullah SAW bersabda tentang keutamaan wanita shalihah yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin Ash, yaitu : “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)
Kini, muslimah sedikit banyak telah terkontaminasi dengan budaya-budaya barat, mulai dari berpakaian, berperilku, bersosialisasi, dan lain sebagainya. Identitas seorang muslimah hakiki lambat laun mulai terkikis seiring datangnya globalisasi, suatu era yang membawa pengaruh besar bagi peradaban manusia. Tentu hal ini menjadi persoalan baru bagi umat Islam dunia pada umumnya. Reposisi muslimah diera globalisasi perlu dilakukan agar para muslimah bisa menjadi penganut atau pemeluk agama yang taat, baik, serta berkarakter mulia.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Wanita itu adalah tiang Negara, bila baik wanitanya maka baik pula Negara dan bila buruk wanitanya maka buruk pula Negaranya”. (HR. Muslim)
Dalam hadits tersebut memiliki arti bahwa baik dan buruknya suatu Negara ditentukan oleh generasi bagaimana yang dihasilkan. Bila wanita dinegara itu baik maka generasi yang dihasilkan akan baik dan otomatis Negara itu pun akan menjadi baik. Sebaliknya, bila wanita di Negara itu buruk atau jahat maka generasi yang akan dihasilkannya pun akan buruk, dan otomatis keadaan Negara itupun menjadi buruk, jadi baik dan buruknya suatu generasi tergantung kepada wanitanya. Oleh karena itu agar muslimah mampu memberikan keberkahan bagi seluruh alam sebagaimana dalam hadits Rasulullah SAW diatas, maka para muslimah haruslah menjadi muslimah yang hakiki.
Muslimah hakiki atau muslimah yang baik adalah wanita yang selalu berpegang teguh kepada prinsip-prinsip islam, selalu menjaga diri dan kehormaannya, senantiasa menghijabi mata dan hatinya, membatasi langkah kakinya serta menutup anggota tubuhnya dengan jilbab syar’i.
Salam sahabat pena,
Lu’lu’ul Luthfiyah

Sabtu, 27 Mei 2017

MUNCULNYA PENYEBAB BANYAKNYA RAGAM BACAAN AL-QUR'AN



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bangsa Arab merupakan komunitas dariberbagai suku yang secara sporadic tersebar diseanjang Jazirah Arab. Setiap suku mempunyai format dialek yang tipikal dan berbedadengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan leta geografis dan sosio-kultural dari masing-masing suku. Namun demikian, mereka telah menjadikan bahasa quraisy sebagai bahasa bersama. Dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi Ka’bah dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dan kenyataan tersebut adalah sebenarnya kita dapat memahami alas an al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa quraisy.
Maka dari itulah, penulis akan membahas tentang penyebab adanya ragam bacaan dan macam-macam ragam bacaam tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa penyebab munculnya ragam bacaan al-Qur’an?
2.      Apa saja contoh ragam bacaan al-Qur’an dan hikmah perbedaan bacaan al-Qur’an?

















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penyebab Munculnya Ragam Bacaan
Para orientalis memandang penyebab munculnya ragam bacaan, yaitu : Pertama, menurut Jeffery kekurangan tanda titik dalam Mushaf `Uthmani berarti merupakan peluang bebas bagi pembaca memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna ayat yang ia pahami. Jika ia menemukan kata tanpa tanda titik boleh saja dibaca: atau sesuai dengan pilihan karakternya. Menggunakan tanda titik dan tanda lainnya amat diperlukan guna menye­suaikan pemahaman sendiri terhadap ayat itu. Sebelum zaman Jeffery, Goldziher dan lainnya berusaha meyakinkan bahwa menggunakan skrip yang tidak ada tanda titik telah mengakibatkan munculnya perbedaan. Dalam memperkuat anggapannya, Goldziher menyuguhkan beberapa contoh potensial yang ia bagi ke dalam dua kelompok.[1]
a.       Perbedaan karena tidak ada kerangka tanda titik.
b.      Perbedaan karena tidak adanya tanda diakritikal
Tampaknya Jeffery dan Golziher benar melupakan tradisi pengajaran secara lisan, satu mandat atau perintah yang hanya melalui seorang instruktur kelas kakap, ilmu Islam dapat diperoleh. Banyak sekali ungkapan Al-Qur an yang dapat secara kontekstual memasukkan lebih dari satu titik dan tanda diakrikital, tetapi dalam banyak hal, seorang ilmuwan hanya membaca dengan satu cara. Ketika perbedaan muncul (dan ini sangat jarang terjadi) kedua kerangka bacaan tetap mengacu pada Mushaf ‘Uthmani, dan tiap kelompok dapat menjustifikasi bacaannya atas dasar otoritas mata rantai atau silsilah yang berakhir pada Nabi Muhammad saw.[2] Atas dasar ini kita dapat menyingkirkan tiap pembaca yang memberi pendapat nyleneh ingin memasukkan titik dan tanda diakritikal menurut selera keinginan dirinya. Walaupun telah banyak fakta dalam teori mereka, hendaknya mau mempertimbangkan jumlah pem­baca dan ribuan kerangka (naskah) yang dapat dibaca melalui empat atau lima cara; Jumlah perbedaan tidak mencapai angka ratusan ribu atau mungkin jutaan. Ibn Mujahid (w. 324 H.) menghitung, seluruh Mushaf semuanya hanya ada kira-kira satu ribu multiple bacaan saja.[3]
Kedua, metode mereka adalah untuk mengum­pulkan semua pendapat, spekulasi, asas praduga, dan kecenderungan untuk menyimpulkan melalui pemilihan clan penemuan yang sesuai dengan tempat, waktu, dan kondisi pada waktu mengambil pertimbangan teks tanpa menghiraukan mata rantai riwayat. Untuk membangun teks Taurat dan Injil sama caranya dengan pembuatan teks puisi Homer atau surat Aristotle, yang ahli filsafat.[4]
Sudah tentu kita tidak dapat mengembalikan masa lampau, tetapi kita dapat mengingat sebagian yang ada melalui sistem persaksian dan pertimbangannya. Menurut metodologi penelitian dan pendirian ilmuwan Muslim, sangat tidak jujur dalam masalah saksi, jika menempatkan persaksian orang-orang jujur dan amanah sejajar tingkatannya dengan pembohong. Tetapi metodologi Jeffery memberikan pengakuan anggapan pembohong sama seperti seorang yang jujur. Selama tujuan mereka terlaksana, dia dan teman penyokongnya menerima material yang berbeda-beda seperti yang dituduhkan kepada tulisan Ibn Mas’ud atau siapa saja, terlepas sumber yang ada dapat dipercaya atau tidak, dan memandang rendah kekayaan bacaan yang begitu terkenal.[5]
Dia beralasan bahwa selain dari tidak ada tanda titik, perbedaan juga muncul karena beberapa pembaca meng­gunakan teks yang bertanggalkan sebelum Mushaf ‘Uthmani, yang kebetulan berbeda dengan kerangka ‘Uthmani dan yang tidak dimusnahkan walaupun ada perintah dari khalifah. Tetapi anggapan ini dibesar-besarkan tanpa ada bukti yang kukuh.
Secara ringkas dijelaskan riwayat yang salah yang menyatakan bahwa Khalifah ‘Ali membaca satu ayat yang bertentangan dengan Mushaf ‘Uthmani, bacaan : والعصر ونوائب الدهر , ان الانسان لفي خسر Pengarang buku al-Mabani mengecam bahwa riwayat ini ada tiga kesalahan:
a.       ‘Asim bin Abi an-Najud, salah seorang mahasiswa cemerlang as-Sulami, yang kemudian jadi salah seorang mahasiswa ‘Ali yang dihormati, mengaitkan bahwa ‘Ali membaca ayat ini sama seperti yang ada di Mushaf ‘Uthmani.
b.      ‘Ali menjadi khalifah setelah terbunuhnya ‘Uthman. Apakah dia percaya bahwa pendahulunya bersalah karena menghilangkan kata-kata tertentu, tentunya ini merupakan kewajiban ‘Ali untuk membetulkan kesalah­annya. Jika tidak maka akan dituduh mengkhianati kepercayaannya.
c.       Usaha ‘Uthman mendapatkan dukungan dari seluruh umat Muslim; ‘Ali sendiri berkata bahwa tidak ada seorang pun yang bersuara menentang, dan kalau dia merasa tidak suka, tentu ia naik pitam.
Pandangan ini hanya satu dari beribu pandangan dari sahabat Nabi Muhammad yang bersemangat menyaksikan pecahan Al-Qur’an tua, sebagaimana kuatnya kesaksian mereka waktu menyetujui keutuhan naskah Al-Qur’an. Tidak ada tambahan, pengurangan, maupun penyelewengan. Siapa saja yang menolak pendapat ini dan mencoba untuk membawa barang baru, mengklaim ini adalah teks sebelum ‘Uthmani yang disukai oleh sahabat ini atau itu, adalah fitnah buat para sahabat yang sangat kuat imannya. Ibn Mas’ud sendiri, pengarang al-Masahif dan yang melengkapi bermacam-macam qira’at yang tidak sama dengan teks `Uthmani, menolak untuk mengategorikan nilai mereka seperti Al-Qur’an. Dia berkata, “Kita tidak mengakui bacaan Al­Qur’an kecuali membaca apa yang tertulis dalam Mushaf `Uthmani. Jika ada seseorang yang membaca sesuatu yang bertentangan dengan Mushaf ini dalam shalat, maka saya akan menyuruh agar mengulang shalat kembali.”
Tahap pembentukan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terjadi dalam waktu yang penuh perubahan, keadaan politik waktu itu menjadikan dua teks benar-benar acak-acakan. Upaya meniru secara tepat tentang perilaku ke­jahatan ini ke dalam teks Al-Qur’an, ilmuwan Barat melihat semua bukti umat Islam dengan penuh prasangka selagi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru penuh dengan keraguan di dalamnya. Sedang rasa was-was terhadap ke­benaran pada variasi materi yang menghantui pikiran Jeffery, namun demikian dia tidak pernah mencantumkan dalam bukunya.
Beberapa varian kelihatannya tidak mungkin terjadi secara bahasa… Beberapa kalangan berusaha memberikan kesan bahwa perbedaan ini merupakan kelanjutan hasil ciptaan para ahli ilmu bahasa (philologers)… Hanya saja, sebagian besar menganggap suatu kelanjutan kehidupan hakiki sejak sebelum zaman teks ‘Uthmani, kendati hanya setelah melewati pencarian kajian kritis keilmuan modern.[6]

B.     Contoh Ragam Bacaan dan Hikmah Ragam Bacaan
1.      Contoh Ragam Bacaan
Kata “maliki” dalam surat Al Fatihah ayat 4, di antara para ulama Qiraat ada yang membacanya dengan memanjangkan mim dan adapula yang memendekkannya. Imam ‘Ashim, Al Kisa’i, Ya’qub dan Khalaf membacanya dengan mad (memanjangkan) huruf mim yaitu menambahkan huruf alif setelahnya (menjadi: maaliki), sedangkan ulama selain mereka membacanya tanpa mad, yaitu dengan memendekkan mim tanpa alif (menjadi: maliki).
Kata “alaihim” dalam ayat ketujuh, Imam Ibnu Katsir, Abu Ja’far dan Qalun membacanya dengan mendhammahkan huruf mim dan memanjangkannya satu harakat (menjadi: ‘alaihimuu) jika disambung dengan kata setelahnya. Sedangkan Imam Hamzah dan Ya’qub mendhammahkan ha’nya (menjadi: ‘alaihum) baik dalam keadaan berhenti (waqaf) maupun bersambung (washal) dengan kata berikutnya. Selebihnya membacanya dengan mengkasrahkan ha’ dan mensukunkan mim (menjadi: ‘alaihim) baik dalam keadaan berhenti (waqaf) maupun bersambung (washal).
Demikian pula ayat-ayat yang lain, perbedaan ragam bacaan itu hanya berkisar pada cara membacanya saja, tidak sampai bertentangan satu sama lain dalam kesimpulan hukum.
2.      Hikmah Turunnya al-Qur’an dengan Tujuh Ragam Bacaan
Banyak sekali hikmah diturunkannya Al Quran dengan tujuh ragam bacaan. Berikut ini beberapa di antaranya:
a.       Memudahkan umat Islam (khususnya bangsa Arab terdahulu) untuk membaca Al Quran sesuai dengan dialek masing-masing atau dialek yang dianggap paling mudah, terutama bagi kalangan wanita, orang tua dan anak-anak.
b.      Menyatukan bahasa umat Islam masa kini dengan bahasa persatuan, yaitu bahasa Arab Quraisy. Telah maklum dalam sejarah bahwa dahulu kabilah-kabilah Arab sering berdatangan di Makkah pada musim haji. Kabilah-kabilah itu memiliki dialek yang berbeda-beda. Dari berbagai macam dialek itulah kaum Quraisy memilih kosakata yang mereka nilai paling cocok lalu memasukkannya ke dalam kosakata bahasa mereka sehingga bahasa mereka menjadi fleksibel. Jadi, bisa dikatakan bahwa dialek Quraisy merupakan percampuran antar dialek bangsa Arab pada masa itu. Ini pulalah yang dilakukan oleh Al Quran ketika memilih beberapa kosakata dari kabilah-kabilah Arab yang paling cocok. Oleh karena itu, benar jika dikatakan bahwa Al Quran diturunkan dengan bahasa Quraisy karena bahasa mereka telah terangkum dalam bahasa Quraisy.
c.       Menggabungkan dua hukum yang berbeda dalam satu ayat sekaligus. Misalnya ayat yang berbunyi, “Haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sampai mereka suci (yath-hur-na).” (QS. Al Baqarah: 222) Dalam bacaan lain, “sampai mereka bersuci (yath-thah-har-na).” Perbedaannya, dalam bacaan pertama tidak disyaratkan bersuci (mandi janabah), jadi cukup dengan terputusnya darah haid maka saat itu ia boleh digauli oleh suaminya karena ia telah menjadi suci (yath-hur-na). Sedangkan bacaan kedua mensyaratkan bersuci (mandi) terlebih dahulu, jadi sebelum mandi tidak boleh digauli, karena kata “yath-thah-har-na” artinya adalah bersuci. Sebagian ulama mengkompromikan kedua bacaan itu dengan cara menafsirkan bacaan pertama bagi wanita yang memiliki masa haid selama sepuluh hari, sedangkan bacaan kedua bagi wanita yang memiliki masa haid lebih dari sepuluh hari.[7] Jadi, wanita yang haidnya terputus setelah sepuluh hari dari masa haid, ia boleh digauli oleh suaminya meskipun belum bersuci, sedangkan wanita yang haidnya terputus sebelum sepuluh hari dari masa haid, ia disyaratkan untuk bersuci (mandi) terlebih dahulu.
d.      Menunjukkan dua hukum yang berbeda dalam dua kondisi yang berbeda pula. Misalnya ayat yang berbunyi, “maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu (arjulakum, dengan lam maftuhah) sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al Maidah: 6). Dalam bacaan lain, “dan (sapulah) kakimu (arjulikum, dengan lam maksurah).” Hal ini menunjukkan dua hukum yang berbeda yaitu membasuh (mencuci) kaki dan menyapu (mengusap) kaki. Dalam sunnah, Rasulullah SAW telah menjelaskan bahwa jika seseorang tidak mengenakan khuf[8] ia diwajibkan mencuci kakinya, sedangkan jika ia memakai khuf, ia cukup mengusap khufnya saja.
e.       Menerangkan maksud suatu ayat dan menghindari terjadinya kesalahpahaman. Misalnya ayat yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah (fas’au) kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumuah: 9). Ayat ini seolah-olah memerintahkan kita agar berjalan dengan tergesa-gesa (sa’i) untuk mendatangi shalat Jumat, padahal dalam hadis disebutkan larangan mendatangi shalat dalam keadaan tergesa-gesa. Namun dalam bacaan lain disebutkan, “maka bergeraklah (famdhu) kamu kepada mengingat Allah.” Dari sini, dapat dipahami bahwa yang dimaksud “bersegera” dalam bacaan pertama adalah “bergerak”, yaitu tanpa ketergesa-gesaan. Hal ini sesuai dengan sunnah Nabi SAW yang melarang kita tergesa-gesa ketika mendatangi shalat[9].

Sebagian orang menyangka bahwa tujuh ragam bacaan yang dimaksud dalam hadis-hadis di atas adalah tujuh Qiraat yang populer saat ini yaitu: Naafi’, Ibnu Katsiir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Aamir, ‘Aashim, Hamzah dan Al Kisaa’i. Anggapan ini sama sekali tidak benar bahkan salah kaprah, karena ketika Rasulullah SAW bersabda tentang tujuh ragam bacaan dalam Al Quran, para Qurra’ itu belum lahir. Kemungkinan besar kerancuan ini disebabkan oleh pemilihan nama-nama Qurra’ yang hanya dibatasi pada tujuh orang saja sebagaimana dilakukan oleh Imam Asy-Syathibi, sehingga orang awam mengira bahwa tujuh Qurra’ itulah yang dimaksud tujuh ragam bacaan dalam hadis Nabi SAW. Wallahu a’lam bish showab.[10]








BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Para orientalis memandang penyebab munculnya ragam bacaan, yaitu : Pertama, menurut Jeffery kekurangan tanda titik dalam Mushaf `Uthmani berarti merupakan peluang bebas bagi pembaca memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna ayat yang ia pahami.
Kedua, metode mereka adalah untuk mengum­pulkan semua pendapat, spekulasi, asas praduga, dan kecenderungan untuk menyimpulkan melalui pemilihan clan penemuan yang sesuai dengan tempat, waktu, dan kondisi pada waktu mengambil pertimbangan teks tanpa menghiraukan mata rantai riwayat.
2.      Perbedaan ragam bacaan itu hanya berkisar pada cara membacanya saja, tidak sampai bertentangan satu sama lain dalam kesimpulan hukum.
3.      Hikmah diturunkannya al-Qur’an dengan ragam bacaan, diantaranya : Memudahkan umat Islam (khususnya bangsa Arab terdahulu) untuk membaca Al Quran sesuai dengan dialek masing-masing atau dialek yang dianggap paling mudah, menyatukan bahasa umat Islam masa kini dengan bahasa persatuan, yaitu bahasa Arab Quraisy, menggabungkan dua hukum yang berbeda dalam satu ayat sekaligus.









DAFTAR PUSTAKA

Az-Zarqani,Syaikh.Manaahil Al-‘Irfaan  juz1.
Asy-Syari’ah,Shadr.At-Taudhih Syarh At-Tanqih juz 2.
Prof.Dr.M.M.Al-Azami.2005.The History of The Qur’anic Text : from Revelation to Complikation.Jakarta : Gema Insani.


[1]Prof.Dr.M.M.Al-Azami, The History of The Qur’anic Text : from Revelation to Complikation, Gema Insani, Jakarta, 2005, hlm.73. Lihat juga ‘Abdul-Halim Najjar, Madhahib at-Tafsiral-Islami, Kairo, 1955, hlm. 9-16. Ini terjemahan bahasa Arab bukunya Goldziher.
[2] Masyarakat Muslim tidak ada masalah dengan isnad atau riwayat ketika menghafal Al-Qur’an, karena ini tidak praktis dan tidak perlu untuk orang biasa setelah kita tahu bahwa Al-Qur’an ada di mana-mana di setiap rumah dan setiap mulut. Bagaimanapun pembaca yang professional dan Ilmuwan mengikuti isnads, sebagai penjaga yang dipercayai untuk memastikan bahwa teks yang sampai pada masyarakat adalah tepat dan tidak ada kerusakan. Saya juga sama, walaupun menulis pada abad 15 H. / 21 M., saya bisa memberikan isnad untuk bacaan Al-Qur’an.
[3] . Ilmuwan yang meneliti naskah resmi Mushaf ‘Uthmani, mencatat perbedaan hanya empat puluh karakter; ini berdasarkan pada perbedaan dalam kerangka itu sendiri. Satu ribu macam bacaan menurut Ibn Mujahid itu dikarenakan perbedaan dalam meletakkan tanda titik dan tanda pada kata­kata tertentu, selain dari perbedaan kerangka huruf.
[4] Ibid., hlm.75
[5] Ibid., hlm.75
[6] Ibid., hlm.76
[7] Shadr Asy-Syari’ah, At-Taudhih Syarh At-Tanqih juz 2,hlm. 236.
[8] Khuf adalah alas kaki terbuat dari kulit binatang yang menutup telapak hingga mata kaki, dapat menahan masuknya air dan dapat dipakai berjalan.
[9] Yaitu hadis yang berbunyi, “Jika telah dikumandangkan shalat, maka jangan kalian mendatanginya dengan cara berjalan cepat, tapi datangilah dengan cara berjalan biasa.” (HR. Bukhari-Muslim)
[10] Syaikh Az-Zarqani,Manaahil Al-‘Irfaan  juz 1,hlm. 125-127

(PSIKOLOGI TAFSIR) TAFSIR AL-MANAR



MUHAMMAD ABDUH DAN RASYID RIDHA
BESERTA TAFSIR AL-MANAR
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah : Psikoloi Tafsir
Dosen Pengampu : Fatma Laili Khoirunnida, S. Ag., Msi

Logo_STAIN_Kudus_Jawa_Tengah

Disusun oleh :
Lu’lu’ul Luthfiyah      (1530110009)


 


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN / IQT 3A
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar  Belakang
Perkembangan tafsir selalu mengalami perubahan dalam setiap masa, baik itu dalam aspek metode ataupun paradigma dalam penafsiran. Sehingga dari setiap masa mempunyai cirri dan karakteristik tersendiri untuk membedakan satu dengan yang lainnya. Sebut saja, tafsir yang berkembang pada era modern mempunyai kekhasan tersendiri dari era sebelumnya. Yakni bahwa tafsir era modern mengalami peralihan dari sumber-sumber lisan menuju sumber-sumber tertulis. Dalam hal ini yang menjadi sorotan adalah tafsir al-Manar yang notabene merupakan bibit munculnya tafsir era modern.
Tafsir ini merupakan buah karya dari tokoh revolusioner di Mesir, yakni Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Yang mana dalam melakukan penafsiran al-Quran, mereka lebih mengutamakan aspek rasionalitas dan peranan sosial sehingga tidak hanya bertaqlid buta terhadap penafsiran tokoh-tokoh (mufassir) sebelumnya. Muhammad Abduh menilai kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya tidak lain kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling berbeda, dan pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkanya al-Quran.[1]
Sebagian dari kitab-kitab tafsir tersebut sedemikian gersang dan kaku, karena penafsiranya hanya mengarahkan perhatian kepada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan lain menyangkut segi-segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat al-Quran. Oleh karena itu kitab-litab tafsir tersebut cenderung menjadi semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan. Bukan kitab tafsir yangsesungguhnya.[2]
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tafsir al-Manar  merupakan bibit dari tafsir modern, tafsir ini juga menjadi inspirasi ataupun rujukan dalam karya-karya tafsir pada masa sesudahnya. Oleh karena itu, perlulah kita mempelajari dan membahas mengenai tafsir al-Manar, sebagaimana yang  akan dibahas dalam makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah biografi Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha?
2.      Bagaimana sejarah penulisan kitab tafsir al-Manar?
3.      Bagaiamanakah metode dalam penulisan tafsir al-Manar?
4.      Bagaimanakah sistematika dalam kitab tafsir al-Manar?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
1.      Muhammad Abduh
Syaikh Muhammad Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairulah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada 1849M. Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan bangsawan. Namun demikian ayahnya  dikenal sebagai orang  terhormat  yang  suka  memberi pertolongan.[3]
Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan. Semuasaudarannya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali muhammad abduhyang olehayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Pilihan ini mungkin hanya suatu kebetulan atau mungkin juga karena ia sangat di cintai ayah serta ibunya.[4]
Dalam usia 12 tahun Abduh telah hafal al-Qur’an. Kemudian, pada usia 13 tahun ia dibawa ke Tanta untuk belajar di Masjid Ahamdi. Masjid ini sering disebut “Masjid Syeikh Ahmad” yang kedudukannya dianggap sebagai level kedua setelah Azhar dari segi menghafal dan belajar al-Qur’an. Pelajaran di masjid Ahmadi ini ia selesaikan selama 2 tahun. Namun Abduh merasa tak mengerti apa-apa. Tentang pengalamannya ini Abduh menceritakan : “Satu setengah tahun saya belajar di Masjid Syeikh Ahmad dengan tak mengerti suatu apapun. Ini adalah karena metodenya yang salah. Guru-guru mulai mengajak kita untuk menghafal istilah-istilah tentang nahwu dan  fiqh yang tak kita ketahui artinya, guru tak merasa penting apakita mengetahui atau tidak mengerti istilah-istilah itu.[5]
Muhammad Abduh melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar, di Kairo dan berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1877. Ketika menjadi mahasiswa di Al Azhar, pada tahun 1869 Abduh bertemu dengan seorang ulama' besar sekaligus pembaharu dalam dunia Islam, Said Jamaluddin Al Afghany, dalam sebuah diskusi. Sejak saat itulah Abduh tertarik kepada Jamaluddin Al Afghany dan banyak belajar darinya. Al Afghany adalah seorang pemikir modern yang memiliki semangat tinggi untuk memutus rantai-rantai kekolotan dan cara-cara berfikir yang fanatik.
Udara baru yang ditiupkan oleh Al Afghany, berkembang pesat di Mesir terutama di kalangan mahasiswa Al Azhar yang dipelopori oleh Muhammad Abduh. Karena cara berpikir Abduh yang lebih maju dan sering bersentuhan dengan jalan pikiran kaum rasionalis Islam (Mu'tazilah), maka banyak yang menuduh dirinya telah meninggalkan madzhab Asy'ariyah. Terhadap tuduhan itu ia menjawab: "Jika saya dengan jelas meninggalkan taklid kepada Asy'ary, maka mengapa saya harus bertaklid kepada Mu'tazilah? Saya akan meninggalkan taklid kepada siapapun dan hanya berpegang kepada dalil yang ada".
2.      Rasyid Ridha
Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Menurut keterangan, ia berasal dari keturunan al-Husain, cucu Rasulullah. Semasa kecil, ia belajar di sebuah sekolah tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca al-Qur’an. Pada tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di al-Madrasah al-Bataniah al-Islamiyyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Sekolah ini didirikan oleh al-Syaikh Husain al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern. Di Madrasah ini, selain dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa Turki dan Perancis, dan di samping pengetahuan-pengetahuan agama juga diajarkan pengetahuan modern.
Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Namun hubungan dengan al-Syaikh Hussein al-Jisr berjalan terus dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majalah al-Urwah al-Wutsqa. Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan al-Afghani di Istambul, tetapi niat itu tidak terwujud. Sewaktu Muhammad Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, ia mendapat kesempatan baik untuk  berjumpa dan berdialog dengan murid utama al-Afghani itu. Pemikiran-pemikiran pembaruanyang diperolehnya dari al-Syaikh Hussain al-Jisr dan yang kemudian diperluas lagi dengan ide-ide al-Afghani dan Muhammad Abduh amat mempengaruhi jiwanya.
Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan tafsir modern dari al-Qur’an, yaitu tafsir yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada gurunya,Muhammad Abduh, supaya menulis tafsir modern. Karena selalu didesak, Abduh akhirnya setuju untuk memberikan  kuliah mengenai tafsir al-Qur’an di al-Azhar.  Kuliah-kuliah itu dimulai pada tahun 1899. Keterangan-keterangan yang diberikan gurunya oleh Rasyid Ridha dicatat untuk selanjutnya disusun dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan selanjutnya kepada guru untuk diperiksa. Setelah mendapat persetujuan lalu disiarkan dalam al-Manar. Dengan demikian, akhirnya muncullah apa yang kemudian dikenal dengan Tafsir al- Manar. Muhammad Abduh sempat memberikan tafsir hanya sampai pada ayat 125 dari surat An- Nisa (Jilid III dari Tafsir al-Manar) dan yang selanjutnya adalah tafsiran muridnya sendiri.
Di dalam majalah al-Manar pun, Rasyid Ridha menulis dan memuat karya-karya yang menentang pemerintahan absolut kerajaan Utsmani. Selain itu, tulisan-tulisan yang menentang politik Inggris dan Perancis untuk membelah-belah dunia Arab di bawah kekuasaan mereka.
Di masa tua Rasyid Ridha, meskipun kesehatannya telah terganggu, ia tidak mua tinggal diam an senantiasa aktif. Akhirnya ia meninggal dunia di bulan Agustus tahun 1935 M, sekembalinya dari mengantarkan Pangeran Su’ud ke kapal Suez.[6]
B.     Penjelasan Tafsir al-Manar
Pada dasarnya penulisan Tafsir al-Manar bermula dari gagasan pemikiran dari tiga tokoh pembaharuan dalam Islam. Yaitu Jamaluddin al-Afgani, Syekh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.
Syaikh Muhammad Abduh telah merintis kebangkitan ilmiah dan memberikan buahnya kepada murid-muridnya. Kebangkitan ini berpusat pada kesadaran islami, upaya pemahaman sosiologis islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini. Benih-benih kebangkitan itu sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaludin al-Afgani, yang kepadanya Muhammad Abduh berguru. Abduh memberikan mata kuliah tafsir di Universitas al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari murid dan mahasiswanya. Dan Rasyid Ridha adalah murid paling tekun mempelajari mata kuliah tersebut, paling semangat dan mencatatnya dengan teliti. Maka dapatlah dikatakan bahwa ia adalah ahli waris tunggal bagi ilmu-ilmu Syaikh Muhammad Abduh. Buah nyata akal hal ini tampak jelas dalam tafsirya yang diberi nama Tafsir al-Quran al- Hakim.[7]
Sebagai tafsir yang membawa pembaharuan, tafsir al-Manar banyak berbicara tentang sunatullah dan menggugah kesadaran umat terhadapnya. Hal tersebut terlihat dengan jelas ketika menafsirkan ayat-ayat akidah (teologis) khususnya yang berkenaan dengan hubungan antara takdir, kehendak, kekuasaan, dan keadilan Allah dengan kehendak, kebebasan, dan kemampuan manusia. Karena itu, maju-mundurnya suatu bangsa, berkembang-runtuhnya suatu negara, bahagia-sengsaranya seseorang dan kalah menangnya suatu kaum di dalam peperangan menurut teologi yang dikembangkan oleh Rasyid Ridha, tidak tergantung pada nasib, tetapi tergantung pada sejauh mana adanya keserasiannya antara perilaku mereka dengan sunatullah.[8]
C.    Metode dalam Tafsir al-Manar
Secara global dapat dikemukakan bahwa Muhammad Abduh (guru Muhammad Rasyid Ridha)[9] hidup dalam suatu masyarakat yang tengah disentuh oleh berbagai perkembangan yang ada di Eropa, dimana masyarakatnya sangat kaku, beku dan menutup pintu ijtihad, hal ini muncul karena adanya kecenderungan umat yang merasa cukup dengan produk ulama-ulam terdahulu, sehingga akal mereka beku (jumud), sementara di Eropa sendiri sedang berkembang biak pola kehidupan yang mendewakan akal. Sehingga muncul kelompok yang taqlid (mayoritas jumlahnya) dan kelompok tajdid (minoritas jumlahnya).
Berdasarkan kondisi di atas, Muhammad Abduh bermaksud dalam setiap penuangan pikirannya termasuk dalam kitab tafsirnya berkeinginan untuk selalu mengingatkan sekaligus menyadarkan umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Seruan ini pula yang mengajak umat kepada fungsionalisasi akal dalam memahami al-Qur’an.
Dengan demikian suatu hukum ditetapkan berdasarkan suatu kondisi tertentu dan hendaknya kondisi tersebut dijelaskan. Bila kondisi berubah, ketetapan itu juga dapat berubah. Melalui terobosannya itu, Abduh berusaha mencapai tujuannya, yakni menjelaskan hakikat ajaran Islam yang murni, menurut pandangannya, serta menghubungkannya dengan kehidupan masa kini. Beberapa prinsip penafsiran yang menjadikan kerangka metodologi tafsir al-manarnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, penggunaan akal secara luas dalam menafsirkan al-Qur’an. Rasionalitas yang dijunjung tinggi oleh pengarang tafsir ini bertitik tolak dari asumsi bahwa ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini, kecuali melalui pembuktian logika, sebagaimana diakuinya pula bahwa ada masalah keagamaan yang sulit dipahami akal, tetapi tidak bertentangan dengan akal.[10]
Kedua, dikalangan ulama tafsir, Abduh dikenal sebagai face maker (peletak dasar) penafsiran yang bercorak Adabi-Ijtima’i (sastra dan budaya kemasyarakatan). Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan.[11]
Secara umum sebenarnya metode yang dipakai dalam tafsir al-Manar tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab tafsir yang lain yang menggunakan metode Tahlili dengan menerapkan sistematika tertib Mushafi. Namun karena penekanannya terhadap operasionalisasi petunjuk al-Qur’an dalam kehidupan umat Islam secara nyata, maka tafsir ini bisa dikatakan berbeda dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Metode yang dirintis oleh Muhammad Abduh ini selanjutnya dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Rasyid Ridha, al-Maraghi dan Amin Khuli.[12]
Pada dasarnya Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya, Muhammad Abduh. Persamaannya yaitu:
1.      Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
2.      Ayat Al-Qur’an bersifat umum
3.      Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
4.      Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
5.      Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw.
6.      Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat
Adapun aspek yang menarik dari tafsir al-Manar adalah bahwa tafsir tersebut berawal dari ceramah-ceramah di depan publik dan kemudian dirumuskan dalam bentuk tulisan. Dengan model semacam ini tentunya tidak mengherankan apabila muatan yang ada pada tafsir tersebut bersifat komunikatif dan memiliki kaitan yang sangat dekat dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
D.    Sistematika dalam Tafsir al-Manar
Sistematika kitab Tafsir al-Manar tidak jauh beda dengan kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang lain (dengan metode tahlili). Kitab Tafsir al-Manar merupakan sistematika tertib mushafi, yaitu sistem penafsiran yang berkembang secara umum periode ketiga, sejak mulai terpisahnya disiplin tafsir dengan disiplin hadis yaitu dengan munculnya trend baru menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat menurut tertib susunan mushaf Al-Qur’an.
Adapun yang membedakan Kitab Tafsir al-Manar dengan kitab tafsir sebelumnya adalah terletak pada gaya analisisnya yang menitik beratkan pada aspek ketelitian redaksinya, adapun penelitian terhadap Kitab Tafsir al-Manar yang dilakukan oleh Syihathah, menemukan bahwa prinsip-prinsip penafsiran al-Manar adalah:
1.      Kesatuan utuh seluruh surst-surat al-Qur’an
2.      Kesatuan tema dalam satu surat
3.      Bertopang pada kemampuan akal
4.      Pemberantasan taqlid
5.      Tidak banyak penafsiran dengan atsar
6.      Berhati-hati dengan cerita-cerita israiliyyat
7.      Al-Qur’an adalah sumber utama bagi hukum
8.      Ayat-ayat Al-Qur’an bersifat umum
9.      Menghindari pembicaraan panjang lebar
Kitab Tafsir al-Manar merupakan Kitab Tafsir dengan corak dan gaya bahasa yang terhitung baru. Az-Zahabi mengatakan bahwa kitab tafsir al-Manar termasuk dalam kategari kitab modern, karena menampilkan suatu bentuk penafsiran yang belum pernah berlaku pada masa sebelumnya, yaitu tafsir dengan corak sastra budaya kemasyarakatan (al-adab al-ijtima’i). Tokoh utama sebagai peletak dasar corak tafsir al-adabi al-ijtima’i ini adalah Muhammad Abduh yang kemudian dikembangkan oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridha.
Muhammad Abduh, dengan metode tersebut, telah membawa dirinya sebagai mufassir yang menfsirkan al-Qur’an secara rasional. Dengan demikian, rasionalitas tafsirnya buan data disimak dan diamati dari segi pandangannya yang dinamis tetang tafsir, tetapi juga dari segi metode tafsirnya. Tinggal lagi yang perlu segera dilihat, bgaimana rasionaitas tafsirnya dalam bidang akhidah dan bidang ibadat.[13]












BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Manar merupakan karya tafsir modern yang ditulis oleh Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha. Keduanya merupakan tokoh revolusioner dari Mesir yang ingin menghapus tradisi taqlid buta yang terjadi ketika itu. Mereka beranggapan bahwa perlu adanya paradigma baru (menggunakan rasionalitas) untuk memahami suatu pemahaman, sehingga Islam dapat mengejar ketinggalan yang terjadi ketika itu. Pada mulanya tafsir al-Manar merupakan materi Abduh yang diajarkan di Masjid al-Azhar dan dicatat oleh muridnya bernama Muhammad Rasyid Ridha, yang kemudian Rasyid Ridha berinisiatif tulisan-tulisannya itu dijadikan sebuah buku tafsir, karena sebelumnya tulisannya di sebuah majalah tersebar luas dan berpengaruh terhadap negara-negara Arab. Kemudian semua pengajaran Abduh dicatat oleh muridnya untuk kemudian dikoreksi kembalioleh Abduh.
Metode yang digunakan dalam tafsir al-Manar adalah tahlili sebagaimana yang ada padametode tahlili dalam tafsir-tafsir terdahulu. 2anya saja al-Manar  bukan hanya menitik beratkan pada aspek balaghah ayat, namun juga mengkaitkan makna ayat dengan kondisi dan persoalan yang ada pada masyarakat sekarang. Sedangkan corak tafsir tersebut adalah Adabi-Ijtima’I (sastra dan budaya kemasyarakatan') sebagaimana corak tafsir al-Manar merupakan penggagas dari corak  adabi ijtima’i.








DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan,Manna Khalil. 2009.Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor:PT Pustaka Litera Antarnusa.
Anwar,Rosihan.2001.Samudera Al-Qur’an.Bandung:CV Pustaka Setia.
Athaillah,Ahmad. 2006.Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional Alam Tafsir al-Manar. Jakarta:Erlangga.
Faiz, Fachruddin.2002. Hermeneutika Qur’an.Yogyakarta:Qalam.
Nasution,Harun.1992. Pembaharuan dalam Islam.Jakarta:Bulan Bintang.
Nawawi, Rif’at Syauqi.2002 Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh.Jakarta:Paramadina.
Syihab,Quraisy.1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar. Bandung:


[1] Quraish Shihab,Studi Kritis Tafsir al-Manar,Bandung,Pustaka Hidayah,1994,hlm.22.
[2]Ibid.,hlm.22.
[3] Ibid.,hlm.11.
[4] Ibid.,hlm.12.
[5] Harun Nasution,Pembaharuan dalam Islam,Jakarta,Bulan Bintang,1992,hlm.59.
[6] Quraisy Syihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Bandung, Pustaka Hidayah, 1994, hlm.60.
[7] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Bogor, PT.Pustaka Litera Antar Nusa, hlm.511-512.
[8] A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional Alam Tafsir al-Manar, Jakarta,Erlangga, 2006, hlm.7.
[9] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor, PT Pustaka Litera Antarnusa, 2009, hlm.512.
[10] Rosihan Anwar, Samudera Al-Qur’an, Bandung, CV Pustaka Setia, 2001, hlm. 260.
[11] Ibid.,hlm.260.
[12] Fachruddin Faiz, Hermeneutika Qur’an, Yogyakarta, Qalam, 2002, hlm.71.
[13] Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Jakarta, Paramadina, 2002, hlm.114.