Kamis, 08 Juni 2017

Ngaji Tafsir - ngaji pasan KH. Ahmad Sya'roni

Surat Ali Imran ayat 42 – 43

وَإِذْ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفَاكِ عَلَى نِسَاءِ الْعَالَمِينَ (42) يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ (43)

“Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah mdemilih kamu, mensucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu). Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.”

Allah SWT memilih Sayyidah Maryam dan menjadikannya menjadi wanita yang suci yang tidak tersentuh oleh lelaki. Allah juga menjadikannya wanita terbaik pada zamannya. Sedangkan wanita paling utama di dunia sepanjang masa ada lima:

Maryam ibu Nabi IsaKhadijah istri Rasulullah SAWFathimah putri Rasulullah SAWA’isyah istri Rasulullah SAWAsiyah istri Fir’aun, dibawah perawatan Fir’aun yang kafir Asiyah tetap Islam

Dari kelima ini yang paling utama adalah Maryam, ada yang berpendapat Khadijah dan ada yang berpendapat yang paling utama adalah Fathimah karena beliau adalah putri Rasulullah.

Asiyah dan Maryam termasuk wanita yang kelak di akhirat menjadi istri Nabi Muhammad SAW. Keduanya datang dan menyaksikan saat kelahiran calon suaminya yaitu Nabi Muhammad SAW sebagaimana dikisahkan dalam Al Barzanji:

حَضَرَ أُمَّهُ لَيْلَةَ مَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ آسِيَةُ وَمَرْيَمُ فِيْ نِسْوَةٍ مِنَ الْحَظِيْرَةِ الْقُدْسِيَّة

Pada malam kelahirannya yang mulia, hadir kepada ibunya Sayyidah Âsiyah dan Sayyidah Maryam disertai para bidadari dari surga.

Ayat “sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” menjadi dalil hukum shalat berjama’ah. Terjadi perbedaan pendapat tentang hukum shalat berjamaah, ada yang menyatakan Fardlu Kifayah sebagaimana pendapat Imam Syafi’i, ada yang menyatakan Sunah Mu’akkadah, dan ada yang berpendapat Fardlu ‘Ain. Yang berpendapat fardlu ain berdasar pada hadits:

وَاَلَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ، فَيُحْطَبَ ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَيُؤَذَّنُ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, ingin kiranya aku memerintahkan orang-orang untuk mengumpulkan kayu bakar, kemudian aku perintahkan mereka untuk menegakkan shalat yang telah dikumandangkan adzannya, lalu aku memerintahkan salah seorang untuk menjadi imam, lalu aku menuju orang-orang yang tidak mengikuti sholat jama’ah, kemudian aku bakar rumah-rumah mereka.”

Menurut Imam Syafi’i kisah nabi akan membakar rumah orang yang tidak mau berjama’ah justru menjadi dalil hukum shalat berjamaah tidak sampai fardlu ain tapi fardlu kifayah (ketika sudah ada yang melaksanakan maka gugur bagi yang lain). Karena ketika nabi membakar rumah berarti nabi tidak berjamaah bersama shahabat yang sedang shalat berjamaah.

Surat Ali Imran ayat 44 – 46

ذَلِكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلَامَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ وَمَا كُنْتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ (44) إِذْ قَالَتِ الْمَلَائِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللَّهَ يُبَشِّرُكِ بِكَلِمَةٍ مِنْهُ اسْمُهُ الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ وَجِيهًا فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَمِنَ الْمُقَرَّبِينَ (45) وَيُكَلِّمُ النَّاسَ فِي الْمَهْدِ وَكَهْلًا وَمِنَ الصَّالِحِينَ (46)

“Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepada kamu (ya Muhammad); padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa. (Ingatlah), ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam, seungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripada-Nya, namanya Al Masih Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia adalah termasuk orang-orang yang saleh.”

Nabi Isa AS di sebut dengan “bikalimatin” karena nabi Isa diciptakan dari ungkapan “Kun” fayakun, bukan dari benih seorang ayah. Dalam Al Qur’an hanya nabi Isa AS yang namanya dinisbatkan kepada ibunya (Isa ibnu Maryam) karena biasanya nama anak itu dinisbatkan kepada ayahnya sebagai penolakan terhadap pendapat kaum Nasrani bahwa nabi Isa AS adalah putra Allah SWT.

Nabi Isa AS mengajak bicara masyarakat ketika masih bayi dan ketika dewasa. Ketika Maryam difitnah telah melakukan perbuatan zina nabi Isa AS yang saat itu masih bayi membelanya dengan berbicara kepada masyarakat:

قَالَ إِنِّي عَبْدُ اللَّهِ آَتَانِيَ الْكِتَابَ وَجَعَلَنِي نَبِيًّا (30)

“Berkata Isa: “Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi” (Q.S. Maryam: 30)

Mendengar ucapan nabi Isa AS mereka berebut menggendong dan karena keanehan yang terjadi ada yang keterlaluan menganggapnya sebagai anak Allah SWT.

Nabi Isa AS dirafa’ (diangkat ke langit) saat berusia 33 tahun dan sampai sekarang masih hidup di langit shaf 2 dan kelak sebelum kiamat akan turun ke bumi selama 7 tahun dan berkeluarga. Sehingga salah jika dalam kalender ditulis “Wafat Isa Al Masih”. Sebagaimana dalam Q.S. An Nisaa’ ayat 159:

وَإِنْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ إِلا لَيُؤْمِنَنَّ بِهِ قَبْلَ مَوْتِهِ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يَكُونُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا

“Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab (saat nabi Isa turun ke bumi), kecuali akan beriman kepadanya sebelum kematiannya. Dan di hari kiamat nanti Isa itu akan menjadi saksi terhadap mereka.

Usia Nabi Isa AS ketika di dunia adalah 33 tahun ditambah 7 tahun ketika turun ke bumi sebelum kiamat. Peristiwa luar biasa adalah atas kehendak Allah. Hal yang bersifat aneh biasanya dikaitkan dengan jin. Anggapan bahwa jin bisa mengetahui yang ghaib adalah keliru. Hal ini telah diungkap dalam Q.S. Saba’ ayat 14:

فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلَّا دَابَّةُ الْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ الْجِنُّ أَنْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ الْغَيْبَ مَا لَبِثُوا فِي الْعَذَابِ الْمُهِينِ (14)

“Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan.”

Nabi Sulaiman meninggal saat mengawasi jin bekerja. Meninggalnya baru diketahui setelah satu tahun karena tongkat yang dibuat bersandar roboh dimakan rayap dan ia jatuh. Andai jin mengetahui yang ghaib maka ia akan berhenti bekerja karena majikannya telah meninggal dunia. (smc-777)

Santrimenara.com

Selasa, 06 Juni 2017

Kemuliaan Wanita

Sebagai bahan pengingat bahwa di dalam Islam posisi atau kedudukan wanita sama dengan laki-laki. Walaupun dengan peran dan tugas yang berbeda. Namun jika ingin lihat ternyata peran dan tugas mereka itu sesuai dengan fitrahnya mereka masing-masing.
Sebagai contoh, perempuan ditugaskan mengurus rumah tangga dan mengurus anak-anaknya. Ini tidak lepas dari fungsi wanita sebagai makhluk yang dikarunia oleh Allah kemampuan kasih sayang dan tentunya rasa kasih sayang kepada anak itu semakin besar karena wanita yang melahirkan.
Berbeda dengan laki-laki misalnya, jalur ibadah dan pengabdian mereka berbeda. Sesuai dengan kondisi yang ada pada diri mereka. Laki-laki diberikan kelebihan fisik dibanding wanita. Maka salah satu tugas berat yang harus dilakukan oleh laki-laki adalah sebagai pemimpin dalam keluarga yang diantara tugas pokoknya adalah mencari nafkah.
Adalah sesuatu yang picik jika ada orang-orang yang kemudian mempertentangkan tugas, peran dan fungsi diantara perempuan dan laki-laki. Bahkan yang lebih berbahaya adalah pemahaman yang salah bahwa 'seolah' perempuan dan laki-laki dalam arena perlombaan. Entah dalam karir ataupun yang lain. Sehingga fungsi-fungsi mereka yang seyogyanya sesuai dengan kodrat mereka terabaikan.
Kemuliaan Ibu dalam Islam
Karena wanita yang melahirkan, maka ada bagian pahala yang sangat luar biasa atas hal ini. Banyak hadits tentang wanita yang menjelaskan hal ini.
Salah satu yang bisa kami petik dan mungkin mahsyur atau umum kita dengar adalah hadits berikut ini.
“Ada seseorang datang menemui Nabi SAW dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku selayaknya berbuat baik?’ Beliau menjawab, ‘Kepada ibumu!’ Orang tadi bertanya kembali, ‘Lalu kepada siapa lagi? Rasulullah menjawab, ‘Ibumu.’ Kemudian ia mengulangi pertanyaannya, dan Rasulullah tetap menjawab, ‘Kepada ibumu!’ Ia bertanya kembali, ‘Setelah itu kepada siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Kepada bapakmu! '” (Bukhari: 5971, Muslim: 2548).
Bentuk penghormatan kepada anak memang tidak boleh tebang pilih, semisal ia sangat menghormati ibunya namun abai atau sama sekali tidak mau menghormati dan mendengar nasihat dari ayahnya. Tidaklah demikian.
Hadits yang ada ingin menjelaskan kepada kita betapa mulianya peran ibu dan outputnya adalah seorang pria semakin sayang dan respect dengan peran wanita dalam kehidupan.
Seorang anak bisa belajar kasih sayang dari ibunya. Dan bisa belajar tentang keteladanan dari sosok ayahnya. Mengajar dan mendidik anak adalah hal yang luar biasa karena sedang mempersiapkan generasi yang cemerlang di masa yang akan datang. Oleh karena itu,
cara mendidik anak laki-laki dan perempuan dalam Islam harus menjadi bagian yang prioritas pula.
Demikianlah kemuliaan wanita dan ibu dalam Islam. “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah .” (HR. Muslim)

Wanita dalam al-Qur'an (Karena Wanita Makhluk Istimewa)



Kalau kita mau mencermati, sungguh wanita sangat dimuliakan dalam Islam saudara-saudaraku. Betapa banyak sudah buku-buku yang membedah habis mengenai wanita, karena memang wanita adalah makhluk yang unik dan istimewa. benar kan ? dalam Al-Qur’an saja dapat kita lihat betapa banyak hukum yang dikhususkan untuk wanita, hal ini bukan dikarenakan kaum wanita itu lemah dan banyak kekurangan. tetapi karena Allah sangat peduli dan sayang terhadap kita.

Berbagai pertanyaan yang seringkali muncul seperti, apakah ibadah kita bernilai setara dengan ibadah kaum laki-laki ? apakah kaum hawa dapat memperoleh kemuliaan setara dengan kaum adam ? padahal ada beberapa hal yang menghalangi kaum wanita untuk beribadah (sholat, puasa, dll). pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang kemudian membawa kita kepada keraguan dalam beribadah. dan Allah telah telah menjawab pertanyaan itu dalam Al-Qur’an, begitupun Allah juga telah menunjukkan kecintaannya pada wanita dan selalu mengutamakan wanita. Mengapa wanita begitu istimewa ?? Let’s check this out …

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat
.( Q.S. Al A’raaf : 26)

Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (Q.S. An Nuur : 31)

Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
(Q.S. An Nuur : 60)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu ke luar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.(Q.S. Al Ahzab : 53)



Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman dan hamba sahaya yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.(Q.S. Al Ahzab : 55)



Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang (Q.S. Al Ahzab : 59) 
Maha benar ALLAH dengan segala firman-NYA.

Adapun Rasulullah SAW, manusia termulia dan terbaik sepanjang masa pun mengakui dan sangat memuliakan wanita. ini buktinya :

Dari Abdullah bin ‘Amr radhiallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihiwassalam bersabda:

“Dunia ini adalah perhiasan/kesenangan dan sebaik-baik perhiasan/kesenangan dunia adalah wanita yang shalihah.” (HR. Muslim,Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad)

Dalam lafazh lain:

“Sesungguhnya dunia ini adalah perhiasan dan tidak ada di antara perhiasan dunia yang lebih baik daripada wanita yang sholihah.” (HR. Ibnu Majah)

Dalam lafazh lainnya lagi:

“Sesungguhnya dunia ini seluruhnya adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita yang sholihah.” (HR. Ahmad)

Wanita dan Keindahan

Sudah menjadi sunnatullah bagi anak Adam diberikan kepada mereka berbagai kenikmatan yang mereka cintai dan dijadikan indah pandangan mereka dengannya di dunia ini sebagaimana dalam firman Alloh:

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah lading. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran:14)

Ketika menyebutkan berbagai hal yang menjadikan kecintaan manusia dalam ayat ini Allah mendahulukan wanita sebelum yang lain, hal ini memberikan isyarat bahwa wanita menjadi sumber terbesar kenikmatan, kesenangan dan perhiasan hidup di dunia ini. Tidak terkecuali bagi Rasulullah Shalallahu ‘alaihiwassalam sebagai sosok manusia terbaik dan termulia, wanita adalah sesuatu yang paling beliau cintai di antara kenikmatan dunia yang lain, dan ini merupakan fitroh beliau sebagai manusia biasa.

Dari Anas radhiallahu ‘anhu ia berkata: “Rasulullah Shalallahu ‘alaihiwassalam bersabda: ‘Aku diberikan rasa cinta dari dunia terhadap para wanita dan wewangian dan dijadikan penyejuk mataku ada di dalam shalat.” (HR. Ahmad, dan Nasa’i. Di shohihkan oleh Syaikh Al Albani)

Walhasil, Allah telah menciptakan wanita sebagai perhiasan dan bahkan perhiasan terbesar dunia ini namun sekaligus ia juga merupakan fitnah terbesar di dunia ini yang pernah diciptakan Allah bagi kaum laki-laki.

Wanita Sholihah

Allah telah memberikan sebuah definisi wanita sholihah yang menjadi perhiasan dan kesenangan terbaik di dunia, sebagaimana dalam firman-Nya:

“…Maka wanita yang sholih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Alloh telah memelihara (mereka)…” (QS. an-Nisa’:34)

Rasulullah Shalallahu ‘alaihiwassalam juga memberikan gambaran wanita sholihah terbaik sebagaimana dalam hadits:

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: “Nabi Shalallahu ‘alaihiwassalam ditanya : ’ Siapakah wanita yang paling baik?’ Beliau menjawab:
‘(Sebaik-baik wanita) adalah yang menyenangkan (suami)-nya jika ia melihatnya, mentaati (suami)-nya jika ia memerintahnya dan ia tidak menyelisihi (suami)-nya dalam hal yang dibenci suami pada dirinya dan harta suaminya.“ (HR. Ahmad, al Hakim, an Nasa’i dan ath Thobrani dan di Shohihkan oleh al Albani).
Beliau Shalallahu ‘alaihiwassalam juga berwasiat untuk memilih wanita yang memiliki dien (agama) yang baik sebagai ukuran keshohihan seorang wanita, bukan kecantikan, kedudukan atau hartanya.

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dari Nabi Shalallahu ‘alaihiwassalam beliau bersabda:

“Wanita dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, kecantikannya dan karena dien (agama)-nya; maka pilihlah yang memiliki dien maka engkau akan beruntung.” (HR. Bukhari dan Muslim). 

Ada beberapa hadist lain yang saya ambil dari berbagai sumber.Mari kita sedikit merenung tentang keistimewaan perempuan yang kadang-kadang kita lupakan. Ini saya lampirkan beberapa keistimewaan wanita menurut Hadist:
1. Doa wanita itu lebih makbul daripada lelaki kerana sifat penyayang yang lebih kuat daripada lelaki. Ketika ditanya kepada Rasulullah SAW akan hal tersebut, jawab baginda , ” Ibu lebih penyayang daripada bapa dan doa orang yang penyayang tidak akan sia-sia.”

2. Wanita yang solehah (baik) itu lebih baik daripada 1000 lelaki yang soleh.

 3. Barangsiapa yang menggembirakan anak perempuannya, darjatnya seumpama orang yang sentiasa menangis kerana takutkan Allah .Dan orang yang takutkan Allah SWT akan diharamkan api neraka ke atas tubuhnya.

4. Wanita yang tinggal bersama anak-anaknya akan tinggal bersama aku (Rasulullah SAW) di dalam syurga.

5. Barangsiapa membawa hadiah (barang makanan dari pasar ke rumah lalu diberikan kepada keluarganya) maka pahalanya seperti melakukan amalan bersedekah.Hendaklah mendahulukan anak perempuan daripada anak lelaki. Maka barangsiapa yang menyukakan anak perempuan seolah-olah dia memerdekakan anak Nabi Ismail.

6. Syurga itu di bawah telapak kaki ibu.

7. Barangsiapa mempunyai tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan atau dua anak perempuan atau dua saudara perempuan lalu dia bersikap ihsan dalam pergaulan dengan mereka dan mendidik mereka dengan penuh rasa takwa serta sikap bertanggungjawab, maka baginya adalah syurga.

8. Apabila memanggil akan dirimu dua orang ibu bapamu, maka jawablah panggilan ibumu terlebih dahulu.

9. Daripada Aisyah r.a.” Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu daripada anak-anak perempuannya lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya daripada api neraka.

10. Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutuplah pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu syurga. Masuklah dari mana-mana pun pintu yang dia kehendaki dengan tidak dihisab.

11. Wanita yang taat pada suaminya, maka semua ikan-ikan di laut, burung di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan semua beristighfar baginya selama mana dia taat kepada suaminya serta menjaga solat dan puasanya.

12. Aisyah r.a berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah, siapakah yang lebih besar haknya terhadap wanita?” Jawab Rasulullah SAW “Suaminya.” ” Siapa pula berhak terhadap lelaki?” Jawab Rasulullah SAW, “Ibunya.”

13. Perempuan apabila sembahyang lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, memelihara kehormatannya serta kepada suaminya, masuklah dia dari pintu syurga mana sahaja yang dikehendaki.

14. Tiap perempuan yang menolong suaminya dalam urusan agama, maka Allah SWT memasukkan dia ke dalam syurga terlebih dahulu daripada suaminya (10,000 tahun).

15. Apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya,maka beristighfarlah para malaikat untuknya. Allah SWT mencatatkan baginya setiap hari dengan 1,000 kebajikan dan menghapuskan darinya 1,000 kejahatan.

16. Apabila seseorang perempuan mulai sakit hendak bersalin, maka Allah SWT mencatatkan baginya pahala orang yang berjihad pada jalan Allah.

17. Apabila seseorang perempuan melahirkan anak, keluarlah dia dari dosa-dosa seperti keadaan ibunya melahirkannya.

18. Apabila telah lahir anak lalu disusui, maka bagi ibu itu setiap satu tegukan daripada susunya diberi satu kebajikan.

19. Apabila semalaman seorang ibu tidak tidur dan memelihara anaknya yang sakit, maka Allah SWT memberinya pahala seperti memerdekakan 70 orang hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah SWT.

Semoga bisa menjadikan pelajaran bagi kita, entah itu seorang perempuan ataupun laki-laki. Ambil maknanya. Maka daripada itu, hargailah seorang wanita..Jagalah istri anda, anak2 anda, apalagi Ibu anda!!!

Selasa, 30 Mei 2017

Muslimah Hakiki dalam Era Globalisasi



MUSLIMAH HAKIKI DALAM ERA GLOBALISASI
Di era yang serba modern ini, eksistensi Islam lambat laun sudah mengalami banyak perubahan. Seiring berjalannya waktu, spectrum perubahan yang terjadi di masyarakat semakin dinamis. Kehidupan manusia telah sampai pada sebuah era yang menghendaki banyaknya perubahan-perubahan nilai dengan membawa berbagai dampak positif serta negative, yaitu sebuah era yang kita kenal dengan “Globalisasi”.
Globalisasi merupakan sebuah era yang ditandai dengan banyaknya penemuan-penemuan baru diberbagai bidang, dan telah dianggap membawa umat manusia ke perubahan peradaban yang begitu fantastic.
Era ini telah menghilangkan sekat pemisah bagi manusia di segala penjuru dunia, dimana setiap individu bisa mengakses secara mudah perkembangan dan penemuan ilmu pengetahuan yang bergerak semakin cepat.
Dengan demikian tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini akan membawa pengaruh besar bagi peradaban umat manusia, khususnya muslimah dan umat Islam pada umumnya. Mengingat bahwa globalisasi tidak hanya membawa dampak positif, maka kita harus mampu memilih dan memilah antara yang baik dan yang tidak baik bagi diri kita. Hal ini bukan berarti kita harus menolak dan terkesan kaku terhadap globalisasi, namun hanya saja kita harus mampu meninggalkan hal-hal yang membawa kemadharatan bagi diri kita.
Globalisasi merupakan suatu kenyataan yang tak mungkin ditolak, oleh karenanya umat Islam harus bersikap kritis terhadap perkembangan yang dibawa oleh globalisasi. Seperti yang telah disampaikan seorang ilmuan muslim, Ibnu Rusyd “Kita perlu menelaah apa yang diucapkan oleh orang lain dan apa yang mereka tulis dalam literature-literatur mereka. Jika ada yang selaras dengan kebenaran, maka harus diterima dengan senang hati. Tetapi, jika ada yang bertentangan dengan kebenaran, maka kita harus berhati-hati dan menghindarinya”. Dengan penyikapan yang kritis ini, dalam satu sisi kita tetap bisa tetap menjaga identitas kebudayaan islam sendiri, dan disisi lain kita tidak terpinggirkan dari perkembangan zaman dan kebudayaan yang hidup didalamnya.
Menjadi Muslimah Hakiki
Wanita shalihah adalah keberkahan bagi seluruh alam. Rasulullah SAW bersabda tentang keutamaan wanita shalihah yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amr bin Ash, yaitu : “Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)
Kini, muslimah sedikit banyak telah terkontaminasi dengan budaya-budaya barat, mulai dari berpakaian, berperilku, bersosialisasi, dan lain sebagainya. Identitas seorang muslimah hakiki lambat laun mulai terkikis seiring datangnya globalisasi, suatu era yang membawa pengaruh besar bagi peradaban manusia. Tentu hal ini menjadi persoalan baru bagi umat Islam dunia pada umumnya. Reposisi muslimah diera globalisasi perlu dilakukan agar para muslimah bisa menjadi penganut atau pemeluk agama yang taat, baik, serta berkarakter mulia.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Wanita itu adalah tiang Negara, bila baik wanitanya maka baik pula Negara dan bila buruk wanitanya maka buruk pula Negaranya”. (HR. Muslim)
Dalam hadits tersebut memiliki arti bahwa baik dan buruknya suatu Negara ditentukan oleh generasi bagaimana yang dihasilkan. Bila wanita dinegara itu baik maka generasi yang dihasilkan akan baik dan otomatis Negara itu pun akan menjadi baik. Sebaliknya, bila wanita di Negara itu buruk atau jahat maka generasi yang akan dihasilkannya pun akan buruk, dan otomatis keadaan Negara itupun menjadi buruk, jadi baik dan buruknya suatu generasi tergantung kepada wanitanya. Oleh karena itu agar muslimah mampu memberikan keberkahan bagi seluruh alam sebagaimana dalam hadits Rasulullah SAW diatas, maka para muslimah haruslah menjadi muslimah yang hakiki.
Muslimah hakiki atau muslimah yang baik adalah wanita yang selalu berpegang teguh kepada prinsip-prinsip islam, selalu menjaga diri dan kehormaannya, senantiasa menghijabi mata dan hatinya, membatasi langkah kakinya serta menutup anggota tubuhnya dengan jilbab syar’i.
Salam sahabat pena,
Lu’lu’ul Luthfiyah

Sabtu, 27 Mei 2017

MUNCULNYA PENYEBAB BANYAKNYA RAGAM BACAAN AL-QUR'AN



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bangsa Arab merupakan komunitas dariberbagai suku yang secara sporadic tersebar diseanjang Jazirah Arab. Setiap suku mempunyai format dialek yang tipikal dan berbedadengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan leta geografis dan sosio-kultural dari masing-masing suku. Namun demikian, mereka telah menjadikan bahasa quraisy sebagai bahasa bersama. Dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi Ka’bah dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dan kenyataan tersebut adalah sebenarnya kita dapat memahami alas an al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa quraisy.
Maka dari itulah, penulis akan membahas tentang penyebab adanya ragam bacaan dan macam-macam ragam bacaam tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa penyebab munculnya ragam bacaan al-Qur’an?
2.      Apa saja contoh ragam bacaan al-Qur’an dan hikmah perbedaan bacaan al-Qur’an?

















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penyebab Munculnya Ragam Bacaan
Para orientalis memandang penyebab munculnya ragam bacaan, yaitu : Pertama, menurut Jeffery kekurangan tanda titik dalam Mushaf `Uthmani berarti merupakan peluang bebas bagi pembaca memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna ayat yang ia pahami. Jika ia menemukan kata tanpa tanda titik boleh saja dibaca: atau sesuai dengan pilihan karakternya. Menggunakan tanda titik dan tanda lainnya amat diperlukan guna menye­suaikan pemahaman sendiri terhadap ayat itu. Sebelum zaman Jeffery, Goldziher dan lainnya berusaha meyakinkan bahwa menggunakan skrip yang tidak ada tanda titik telah mengakibatkan munculnya perbedaan. Dalam memperkuat anggapannya, Goldziher menyuguhkan beberapa contoh potensial yang ia bagi ke dalam dua kelompok.[1]
a.       Perbedaan karena tidak ada kerangka tanda titik.
b.      Perbedaan karena tidak adanya tanda diakritikal
Tampaknya Jeffery dan Golziher benar melupakan tradisi pengajaran secara lisan, satu mandat atau perintah yang hanya melalui seorang instruktur kelas kakap, ilmu Islam dapat diperoleh. Banyak sekali ungkapan Al-Qur an yang dapat secara kontekstual memasukkan lebih dari satu titik dan tanda diakrikital, tetapi dalam banyak hal, seorang ilmuwan hanya membaca dengan satu cara. Ketika perbedaan muncul (dan ini sangat jarang terjadi) kedua kerangka bacaan tetap mengacu pada Mushaf ‘Uthmani, dan tiap kelompok dapat menjustifikasi bacaannya atas dasar otoritas mata rantai atau silsilah yang berakhir pada Nabi Muhammad saw.[2] Atas dasar ini kita dapat menyingkirkan tiap pembaca yang memberi pendapat nyleneh ingin memasukkan titik dan tanda diakritikal menurut selera keinginan dirinya. Walaupun telah banyak fakta dalam teori mereka, hendaknya mau mempertimbangkan jumlah pem­baca dan ribuan kerangka (naskah) yang dapat dibaca melalui empat atau lima cara; Jumlah perbedaan tidak mencapai angka ratusan ribu atau mungkin jutaan. Ibn Mujahid (w. 324 H.) menghitung, seluruh Mushaf semuanya hanya ada kira-kira satu ribu multiple bacaan saja.[3]
Kedua, metode mereka adalah untuk mengum­pulkan semua pendapat, spekulasi, asas praduga, dan kecenderungan untuk menyimpulkan melalui pemilihan clan penemuan yang sesuai dengan tempat, waktu, dan kondisi pada waktu mengambil pertimbangan teks tanpa menghiraukan mata rantai riwayat. Untuk membangun teks Taurat dan Injil sama caranya dengan pembuatan teks puisi Homer atau surat Aristotle, yang ahli filsafat.[4]
Sudah tentu kita tidak dapat mengembalikan masa lampau, tetapi kita dapat mengingat sebagian yang ada melalui sistem persaksian dan pertimbangannya. Menurut metodologi penelitian dan pendirian ilmuwan Muslim, sangat tidak jujur dalam masalah saksi, jika menempatkan persaksian orang-orang jujur dan amanah sejajar tingkatannya dengan pembohong. Tetapi metodologi Jeffery memberikan pengakuan anggapan pembohong sama seperti seorang yang jujur. Selama tujuan mereka terlaksana, dia dan teman penyokongnya menerima material yang berbeda-beda seperti yang dituduhkan kepada tulisan Ibn Mas’ud atau siapa saja, terlepas sumber yang ada dapat dipercaya atau tidak, dan memandang rendah kekayaan bacaan yang begitu terkenal.[5]
Dia beralasan bahwa selain dari tidak ada tanda titik, perbedaan juga muncul karena beberapa pembaca meng­gunakan teks yang bertanggalkan sebelum Mushaf ‘Uthmani, yang kebetulan berbeda dengan kerangka ‘Uthmani dan yang tidak dimusnahkan walaupun ada perintah dari khalifah. Tetapi anggapan ini dibesar-besarkan tanpa ada bukti yang kukuh.
Secara ringkas dijelaskan riwayat yang salah yang menyatakan bahwa Khalifah ‘Ali membaca satu ayat yang bertentangan dengan Mushaf ‘Uthmani, bacaan : والعصر ونوائب الدهر , ان الانسان لفي خسر Pengarang buku al-Mabani mengecam bahwa riwayat ini ada tiga kesalahan:
a.       ‘Asim bin Abi an-Najud, salah seorang mahasiswa cemerlang as-Sulami, yang kemudian jadi salah seorang mahasiswa ‘Ali yang dihormati, mengaitkan bahwa ‘Ali membaca ayat ini sama seperti yang ada di Mushaf ‘Uthmani.
b.      ‘Ali menjadi khalifah setelah terbunuhnya ‘Uthman. Apakah dia percaya bahwa pendahulunya bersalah karena menghilangkan kata-kata tertentu, tentunya ini merupakan kewajiban ‘Ali untuk membetulkan kesalah­annya. Jika tidak maka akan dituduh mengkhianati kepercayaannya.
c.       Usaha ‘Uthman mendapatkan dukungan dari seluruh umat Muslim; ‘Ali sendiri berkata bahwa tidak ada seorang pun yang bersuara menentang, dan kalau dia merasa tidak suka, tentu ia naik pitam.
Pandangan ini hanya satu dari beribu pandangan dari sahabat Nabi Muhammad yang bersemangat menyaksikan pecahan Al-Qur’an tua, sebagaimana kuatnya kesaksian mereka waktu menyetujui keutuhan naskah Al-Qur’an. Tidak ada tambahan, pengurangan, maupun penyelewengan. Siapa saja yang menolak pendapat ini dan mencoba untuk membawa barang baru, mengklaim ini adalah teks sebelum ‘Uthmani yang disukai oleh sahabat ini atau itu, adalah fitnah buat para sahabat yang sangat kuat imannya. Ibn Mas’ud sendiri, pengarang al-Masahif dan yang melengkapi bermacam-macam qira’at yang tidak sama dengan teks `Uthmani, menolak untuk mengategorikan nilai mereka seperti Al-Qur’an. Dia berkata, “Kita tidak mengakui bacaan Al­Qur’an kecuali membaca apa yang tertulis dalam Mushaf `Uthmani. Jika ada seseorang yang membaca sesuatu yang bertentangan dengan Mushaf ini dalam shalat, maka saya akan menyuruh agar mengulang shalat kembali.”
Tahap pembentukan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terjadi dalam waktu yang penuh perubahan, keadaan politik waktu itu menjadikan dua teks benar-benar acak-acakan. Upaya meniru secara tepat tentang perilaku ke­jahatan ini ke dalam teks Al-Qur’an, ilmuwan Barat melihat semua bukti umat Islam dengan penuh prasangka selagi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru penuh dengan keraguan di dalamnya. Sedang rasa was-was terhadap ke­benaran pada variasi materi yang menghantui pikiran Jeffery, namun demikian dia tidak pernah mencantumkan dalam bukunya.
Beberapa varian kelihatannya tidak mungkin terjadi secara bahasa… Beberapa kalangan berusaha memberikan kesan bahwa perbedaan ini merupakan kelanjutan hasil ciptaan para ahli ilmu bahasa (philologers)… Hanya saja, sebagian besar menganggap suatu kelanjutan kehidupan hakiki sejak sebelum zaman teks ‘Uthmani, kendati hanya setelah melewati pencarian kajian kritis keilmuan modern.[6]

B.     Contoh Ragam Bacaan dan Hikmah Ragam Bacaan
1.      Contoh Ragam Bacaan
Kata “maliki” dalam surat Al Fatihah ayat 4, di antara para ulama Qiraat ada yang membacanya dengan memanjangkan mim dan adapula yang memendekkannya. Imam ‘Ashim, Al Kisa’i, Ya’qub dan Khalaf membacanya dengan mad (memanjangkan) huruf mim yaitu menambahkan huruf alif setelahnya (menjadi: maaliki), sedangkan ulama selain mereka membacanya tanpa mad, yaitu dengan memendekkan mim tanpa alif (menjadi: maliki).
Kata “alaihim” dalam ayat ketujuh, Imam Ibnu Katsir, Abu Ja’far dan Qalun membacanya dengan mendhammahkan huruf mim dan memanjangkannya satu harakat (menjadi: ‘alaihimuu) jika disambung dengan kata setelahnya. Sedangkan Imam Hamzah dan Ya’qub mendhammahkan ha’nya (menjadi: ‘alaihum) baik dalam keadaan berhenti (waqaf) maupun bersambung (washal) dengan kata berikutnya. Selebihnya membacanya dengan mengkasrahkan ha’ dan mensukunkan mim (menjadi: ‘alaihim) baik dalam keadaan berhenti (waqaf) maupun bersambung (washal).
Demikian pula ayat-ayat yang lain, perbedaan ragam bacaan itu hanya berkisar pada cara membacanya saja, tidak sampai bertentangan satu sama lain dalam kesimpulan hukum.
2.      Hikmah Turunnya al-Qur’an dengan Tujuh Ragam Bacaan
Banyak sekali hikmah diturunkannya Al Quran dengan tujuh ragam bacaan. Berikut ini beberapa di antaranya:
a.       Memudahkan umat Islam (khususnya bangsa Arab terdahulu) untuk membaca Al Quran sesuai dengan dialek masing-masing atau dialek yang dianggap paling mudah, terutama bagi kalangan wanita, orang tua dan anak-anak.
b.      Menyatukan bahasa umat Islam masa kini dengan bahasa persatuan, yaitu bahasa Arab Quraisy. Telah maklum dalam sejarah bahwa dahulu kabilah-kabilah Arab sering berdatangan di Makkah pada musim haji. Kabilah-kabilah itu memiliki dialek yang berbeda-beda. Dari berbagai macam dialek itulah kaum Quraisy memilih kosakata yang mereka nilai paling cocok lalu memasukkannya ke dalam kosakata bahasa mereka sehingga bahasa mereka menjadi fleksibel. Jadi, bisa dikatakan bahwa dialek Quraisy merupakan percampuran antar dialek bangsa Arab pada masa itu. Ini pulalah yang dilakukan oleh Al Quran ketika memilih beberapa kosakata dari kabilah-kabilah Arab yang paling cocok. Oleh karena itu, benar jika dikatakan bahwa Al Quran diturunkan dengan bahasa Quraisy karena bahasa mereka telah terangkum dalam bahasa Quraisy.
c.       Menggabungkan dua hukum yang berbeda dalam satu ayat sekaligus. Misalnya ayat yang berbunyi, “Haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sampai mereka suci (yath-hur-na).” (QS. Al Baqarah: 222) Dalam bacaan lain, “sampai mereka bersuci (yath-thah-har-na).” Perbedaannya, dalam bacaan pertama tidak disyaratkan bersuci (mandi janabah), jadi cukup dengan terputusnya darah haid maka saat itu ia boleh digauli oleh suaminya karena ia telah menjadi suci (yath-hur-na). Sedangkan bacaan kedua mensyaratkan bersuci (mandi) terlebih dahulu, jadi sebelum mandi tidak boleh digauli, karena kata “yath-thah-har-na” artinya adalah bersuci. Sebagian ulama mengkompromikan kedua bacaan itu dengan cara menafsirkan bacaan pertama bagi wanita yang memiliki masa haid selama sepuluh hari, sedangkan bacaan kedua bagi wanita yang memiliki masa haid lebih dari sepuluh hari.[7] Jadi, wanita yang haidnya terputus setelah sepuluh hari dari masa haid, ia boleh digauli oleh suaminya meskipun belum bersuci, sedangkan wanita yang haidnya terputus sebelum sepuluh hari dari masa haid, ia disyaratkan untuk bersuci (mandi) terlebih dahulu.
d.      Menunjukkan dua hukum yang berbeda dalam dua kondisi yang berbeda pula. Misalnya ayat yang berbunyi, “maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu (arjulakum, dengan lam maftuhah) sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al Maidah: 6). Dalam bacaan lain, “dan (sapulah) kakimu (arjulikum, dengan lam maksurah).” Hal ini menunjukkan dua hukum yang berbeda yaitu membasuh (mencuci) kaki dan menyapu (mengusap) kaki. Dalam sunnah, Rasulullah SAW telah menjelaskan bahwa jika seseorang tidak mengenakan khuf[8] ia diwajibkan mencuci kakinya, sedangkan jika ia memakai khuf, ia cukup mengusap khufnya saja.
e.       Menerangkan maksud suatu ayat dan menghindari terjadinya kesalahpahaman. Misalnya ayat yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah (fas’au) kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumuah: 9). Ayat ini seolah-olah memerintahkan kita agar berjalan dengan tergesa-gesa (sa’i) untuk mendatangi shalat Jumat, padahal dalam hadis disebutkan larangan mendatangi shalat dalam keadaan tergesa-gesa. Namun dalam bacaan lain disebutkan, “maka bergeraklah (famdhu) kamu kepada mengingat Allah.” Dari sini, dapat dipahami bahwa yang dimaksud “bersegera” dalam bacaan pertama adalah “bergerak”, yaitu tanpa ketergesa-gesaan. Hal ini sesuai dengan sunnah Nabi SAW yang melarang kita tergesa-gesa ketika mendatangi shalat[9].

Sebagian orang menyangka bahwa tujuh ragam bacaan yang dimaksud dalam hadis-hadis di atas adalah tujuh Qiraat yang populer saat ini yaitu: Naafi’, Ibnu Katsiir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Aamir, ‘Aashim, Hamzah dan Al Kisaa’i. Anggapan ini sama sekali tidak benar bahkan salah kaprah, karena ketika Rasulullah SAW bersabda tentang tujuh ragam bacaan dalam Al Quran, para Qurra’ itu belum lahir. Kemungkinan besar kerancuan ini disebabkan oleh pemilihan nama-nama Qurra’ yang hanya dibatasi pada tujuh orang saja sebagaimana dilakukan oleh Imam Asy-Syathibi, sehingga orang awam mengira bahwa tujuh Qurra’ itulah yang dimaksud tujuh ragam bacaan dalam hadis Nabi SAW. Wallahu a’lam bish showab.[10]








BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Para orientalis memandang penyebab munculnya ragam bacaan, yaitu : Pertama, menurut Jeffery kekurangan tanda titik dalam Mushaf `Uthmani berarti merupakan peluang bebas bagi pembaca memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna ayat yang ia pahami.
Kedua, metode mereka adalah untuk mengum­pulkan semua pendapat, spekulasi, asas praduga, dan kecenderungan untuk menyimpulkan melalui pemilihan clan penemuan yang sesuai dengan tempat, waktu, dan kondisi pada waktu mengambil pertimbangan teks tanpa menghiraukan mata rantai riwayat.
2.      Perbedaan ragam bacaan itu hanya berkisar pada cara membacanya saja, tidak sampai bertentangan satu sama lain dalam kesimpulan hukum.
3.      Hikmah diturunkannya al-Qur’an dengan ragam bacaan, diantaranya : Memudahkan umat Islam (khususnya bangsa Arab terdahulu) untuk membaca Al Quran sesuai dengan dialek masing-masing atau dialek yang dianggap paling mudah, menyatukan bahasa umat Islam masa kini dengan bahasa persatuan, yaitu bahasa Arab Quraisy, menggabungkan dua hukum yang berbeda dalam satu ayat sekaligus.









DAFTAR PUSTAKA

Az-Zarqani,Syaikh.Manaahil Al-‘Irfaan  juz1.
Asy-Syari’ah,Shadr.At-Taudhih Syarh At-Tanqih juz 2.
Prof.Dr.M.M.Al-Azami.2005.The History of The Qur’anic Text : from Revelation to Complikation.Jakarta : Gema Insani.


[1]Prof.Dr.M.M.Al-Azami, The History of The Qur’anic Text : from Revelation to Complikation, Gema Insani, Jakarta, 2005, hlm.73. Lihat juga ‘Abdul-Halim Najjar, Madhahib at-Tafsiral-Islami, Kairo, 1955, hlm. 9-16. Ini terjemahan bahasa Arab bukunya Goldziher.
[2] Masyarakat Muslim tidak ada masalah dengan isnad atau riwayat ketika menghafal Al-Qur’an, karena ini tidak praktis dan tidak perlu untuk orang biasa setelah kita tahu bahwa Al-Qur’an ada di mana-mana di setiap rumah dan setiap mulut. Bagaimanapun pembaca yang professional dan Ilmuwan mengikuti isnads, sebagai penjaga yang dipercayai untuk memastikan bahwa teks yang sampai pada masyarakat adalah tepat dan tidak ada kerusakan. Saya juga sama, walaupun menulis pada abad 15 H. / 21 M., saya bisa memberikan isnad untuk bacaan Al-Qur’an.
[3] . Ilmuwan yang meneliti naskah resmi Mushaf ‘Uthmani, mencatat perbedaan hanya empat puluh karakter; ini berdasarkan pada perbedaan dalam kerangka itu sendiri. Satu ribu macam bacaan menurut Ibn Mujahid itu dikarenakan perbedaan dalam meletakkan tanda titik dan tanda pada kata­kata tertentu, selain dari perbedaan kerangka huruf.
[4] Ibid., hlm.75
[5] Ibid., hlm.75
[6] Ibid., hlm.76
[7] Shadr Asy-Syari’ah, At-Taudhih Syarh At-Tanqih juz 2,hlm. 236.
[8] Khuf adalah alas kaki terbuat dari kulit binatang yang menutup telapak hingga mata kaki, dapat menahan masuknya air dan dapat dipakai berjalan.
[9] Yaitu hadis yang berbunyi, “Jika telah dikumandangkan shalat, maka jangan kalian mendatanginya dengan cara berjalan cepat, tapi datangilah dengan cara berjalan biasa.” (HR. Bukhari-Muslim)
[10] Syaikh Az-Zarqani,Manaahil Al-‘Irfaan  juz 1,hlm. 125-127