Sabtu, 27 Mei 2017

MUNCULNYA PENYEBAB BANYAKNYA RAGAM BACAAN AL-QUR'AN



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bangsa Arab merupakan komunitas dariberbagai suku yang secara sporadic tersebar diseanjang Jazirah Arab. Setiap suku mempunyai format dialek yang tipikal dan berbedadengan suku-suku lainnya. Perbedaan dialek itu tentunya sesuai dengan leta geografis dan sosio-kultural dari masing-masing suku. Namun demikian, mereka telah menjadikan bahasa quraisy sebagai bahasa bersama. Dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi Ka’bah dan melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dan kenyataan tersebut adalah sebenarnya kita dapat memahami alas an al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa quraisy.
Maka dari itulah, penulis akan membahas tentang penyebab adanya ragam bacaan dan macam-macam ragam bacaam tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa penyebab munculnya ragam bacaan al-Qur’an?
2.      Apa saja contoh ragam bacaan al-Qur’an dan hikmah perbedaan bacaan al-Qur’an?

















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Penyebab Munculnya Ragam Bacaan
Para orientalis memandang penyebab munculnya ragam bacaan, yaitu : Pertama, menurut Jeffery kekurangan tanda titik dalam Mushaf `Uthmani berarti merupakan peluang bebas bagi pembaca memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna ayat yang ia pahami. Jika ia menemukan kata tanpa tanda titik boleh saja dibaca: atau sesuai dengan pilihan karakternya. Menggunakan tanda titik dan tanda lainnya amat diperlukan guna menye­suaikan pemahaman sendiri terhadap ayat itu. Sebelum zaman Jeffery, Goldziher dan lainnya berusaha meyakinkan bahwa menggunakan skrip yang tidak ada tanda titik telah mengakibatkan munculnya perbedaan. Dalam memperkuat anggapannya, Goldziher menyuguhkan beberapa contoh potensial yang ia bagi ke dalam dua kelompok.[1]
a.       Perbedaan karena tidak ada kerangka tanda titik.
b.      Perbedaan karena tidak adanya tanda diakritikal
Tampaknya Jeffery dan Golziher benar melupakan tradisi pengajaran secara lisan, satu mandat atau perintah yang hanya melalui seorang instruktur kelas kakap, ilmu Islam dapat diperoleh. Banyak sekali ungkapan Al-Qur an yang dapat secara kontekstual memasukkan lebih dari satu titik dan tanda diakrikital, tetapi dalam banyak hal, seorang ilmuwan hanya membaca dengan satu cara. Ketika perbedaan muncul (dan ini sangat jarang terjadi) kedua kerangka bacaan tetap mengacu pada Mushaf ‘Uthmani, dan tiap kelompok dapat menjustifikasi bacaannya atas dasar otoritas mata rantai atau silsilah yang berakhir pada Nabi Muhammad saw.[2] Atas dasar ini kita dapat menyingkirkan tiap pembaca yang memberi pendapat nyleneh ingin memasukkan titik dan tanda diakritikal menurut selera keinginan dirinya. Walaupun telah banyak fakta dalam teori mereka, hendaknya mau mempertimbangkan jumlah pem­baca dan ribuan kerangka (naskah) yang dapat dibaca melalui empat atau lima cara; Jumlah perbedaan tidak mencapai angka ratusan ribu atau mungkin jutaan. Ibn Mujahid (w. 324 H.) menghitung, seluruh Mushaf semuanya hanya ada kira-kira satu ribu multiple bacaan saja.[3]
Kedua, metode mereka adalah untuk mengum­pulkan semua pendapat, spekulasi, asas praduga, dan kecenderungan untuk menyimpulkan melalui pemilihan clan penemuan yang sesuai dengan tempat, waktu, dan kondisi pada waktu mengambil pertimbangan teks tanpa menghiraukan mata rantai riwayat. Untuk membangun teks Taurat dan Injil sama caranya dengan pembuatan teks puisi Homer atau surat Aristotle, yang ahli filsafat.[4]
Sudah tentu kita tidak dapat mengembalikan masa lampau, tetapi kita dapat mengingat sebagian yang ada melalui sistem persaksian dan pertimbangannya. Menurut metodologi penelitian dan pendirian ilmuwan Muslim, sangat tidak jujur dalam masalah saksi, jika menempatkan persaksian orang-orang jujur dan amanah sejajar tingkatannya dengan pembohong. Tetapi metodologi Jeffery memberikan pengakuan anggapan pembohong sama seperti seorang yang jujur. Selama tujuan mereka terlaksana, dia dan teman penyokongnya menerima material yang berbeda-beda seperti yang dituduhkan kepada tulisan Ibn Mas’ud atau siapa saja, terlepas sumber yang ada dapat dipercaya atau tidak, dan memandang rendah kekayaan bacaan yang begitu terkenal.[5]
Dia beralasan bahwa selain dari tidak ada tanda titik, perbedaan juga muncul karena beberapa pembaca meng­gunakan teks yang bertanggalkan sebelum Mushaf ‘Uthmani, yang kebetulan berbeda dengan kerangka ‘Uthmani dan yang tidak dimusnahkan walaupun ada perintah dari khalifah. Tetapi anggapan ini dibesar-besarkan tanpa ada bukti yang kukuh.
Secara ringkas dijelaskan riwayat yang salah yang menyatakan bahwa Khalifah ‘Ali membaca satu ayat yang bertentangan dengan Mushaf ‘Uthmani, bacaan : والعصر ونوائب الدهر , ان الانسان لفي خسر Pengarang buku al-Mabani mengecam bahwa riwayat ini ada tiga kesalahan:
a.       ‘Asim bin Abi an-Najud, salah seorang mahasiswa cemerlang as-Sulami, yang kemudian jadi salah seorang mahasiswa ‘Ali yang dihormati, mengaitkan bahwa ‘Ali membaca ayat ini sama seperti yang ada di Mushaf ‘Uthmani.
b.      ‘Ali menjadi khalifah setelah terbunuhnya ‘Uthman. Apakah dia percaya bahwa pendahulunya bersalah karena menghilangkan kata-kata tertentu, tentunya ini merupakan kewajiban ‘Ali untuk membetulkan kesalah­annya. Jika tidak maka akan dituduh mengkhianati kepercayaannya.
c.       Usaha ‘Uthman mendapatkan dukungan dari seluruh umat Muslim; ‘Ali sendiri berkata bahwa tidak ada seorang pun yang bersuara menentang, dan kalau dia merasa tidak suka, tentu ia naik pitam.
Pandangan ini hanya satu dari beribu pandangan dari sahabat Nabi Muhammad yang bersemangat menyaksikan pecahan Al-Qur’an tua, sebagaimana kuatnya kesaksian mereka waktu menyetujui keutuhan naskah Al-Qur’an. Tidak ada tambahan, pengurangan, maupun penyelewengan. Siapa saja yang menolak pendapat ini dan mencoba untuk membawa barang baru, mengklaim ini adalah teks sebelum ‘Uthmani yang disukai oleh sahabat ini atau itu, adalah fitnah buat para sahabat yang sangat kuat imannya. Ibn Mas’ud sendiri, pengarang al-Masahif dan yang melengkapi bermacam-macam qira’at yang tidak sama dengan teks `Uthmani, menolak untuk mengategorikan nilai mereka seperti Al-Qur’an. Dia berkata, “Kita tidak mengakui bacaan Al­Qur’an kecuali membaca apa yang tertulis dalam Mushaf `Uthmani. Jika ada seseorang yang membaca sesuatu yang bertentangan dengan Mushaf ini dalam shalat, maka saya akan menyuruh agar mengulang shalat kembali.”
Tahap pembentukan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terjadi dalam waktu yang penuh perubahan, keadaan politik waktu itu menjadikan dua teks benar-benar acak-acakan. Upaya meniru secara tepat tentang perilaku ke­jahatan ini ke dalam teks Al-Qur’an, ilmuwan Barat melihat semua bukti umat Islam dengan penuh prasangka selagi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru penuh dengan keraguan di dalamnya. Sedang rasa was-was terhadap ke­benaran pada variasi materi yang menghantui pikiran Jeffery, namun demikian dia tidak pernah mencantumkan dalam bukunya.
Beberapa varian kelihatannya tidak mungkin terjadi secara bahasa… Beberapa kalangan berusaha memberikan kesan bahwa perbedaan ini merupakan kelanjutan hasil ciptaan para ahli ilmu bahasa (philologers)… Hanya saja, sebagian besar menganggap suatu kelanjutan kehidupan hakiki sejak sebelum zaman teks ‘Uthmani, kendati hanya setelah melewati pencarian kajian kritis keilmuan modern.[6]

B.     Contoh Ragam Bacaan dan Hikmah Ragam Bacaan
1.      Contoh Ragam Bacaan
Kata “maliki” dalam surat Al Fatihah ayat 4, di antara para ulama Qiraat ada yang membacanya dengan memanjangkan mim dan adapula yang memendekkannya. Imam ‘Ashim, Al Kisa’i, Ya’qub dan Khalaf membacanya dengan mad (memanjangkan) huruf mim yaitu menambahkan huruf alif setelahnya (menjadi: maaliki), sedangkan ulama selain mereka membacanya tanpa mad, yaitu dengan memendekkan mim tanpa alif (menjadi: maliki).
Kata “alaihim” dalam ayat ketujuh, Imam Ibnu Katsir, Abu Ja’far dan Qalun membacanya dengan mendhammahkan huruf mim dan memanjangkannya satu harakat (menjadi: ‘alaihimuu) jika disambung dengan kata setelahnya. Sedangkan Imam Hamzah dan Ya’qub mendhammahkan ha’nya (menjadi: ‘alaihum) baik dalam keadaan berhenti (waqaf) maupun bersambung (washal) dengan kata berikutnya. Selebihnya membacanya dengan mengkasrahkan ha’ dan mensukunkan mim (menjadi: ‘alaihim) baik dalam keadaan berhenti (waqaf) maupun bersambung (washal).
Demikian pula ayat-ayat yang lain, perbedaan ragam bacaan itu hanya berkisar pada cara membacanya saja, tidak sampai bertentangan satu sama lain dalam kesimpulan hukum.
2.      Hikmah Turunnya al-Qur’an dengan Tujuh Ragam Bacaan
Banyak sekali hikmah diturunkannya Al Quran dengan tujuh ragam bacaan. Berikut ini beberapa di antaranya:
a.       Memudahkan umat Islam (khususnya bangsa Arab terdahulu) untuk membaca Al Quran sesuai dengan dialek masing-masing atau dialek yang dianggap paling mudah, terutama bagi kalangan wanita, orang tua dan anak-anak.
b.      Menyatukan bahasa umat Islam masa kini dengan bahasa persatuan, yaitu bahasa Arab Quraisy. Telah maklum dalam sejarah bahwa dahulu kabilah-kabilah Arab sering berdatangan di Makkah pada musim haji. Kabilah-kabilah itu memiliki dialek yang berbeda-beda. Dari berbagai macam dialek itulah kaum Quraisy memilih kosakata yang mereka nilai paling cocok lalu memasukkannya ke dalam kosakata bahasa mereka sehingga bahasa mereka menjadi fleksibel. Jadi, bisa dikatakan bahwa dialek Quraisy merupakan percampuran antar dialek bangsa Arab pada masa itu. Ini pulalah yang dilakukan oleh Al Quran ketika memilih beberapa kosakata dari kabilah-kabilah Arab yang paling cocok. Oleh karena itu, benar jika dikatakan bahwa Al Quran diturunkan dengan bahasa Quraisy karena bahasa mereka telah terangkum dalam bahasa Quraisy.
c.       Menggabungkan dua hukum yang berbeda dalam satu ayat sekaligus. Misalnya ayat yang berbunyi, “Haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sampai mereka suci (yath-hur-na).” (QS. Al Baqarah: 222) Dalam bacaan lain, “sampai mereka bersuci (yath-thah-har-na).” Perbedaannya, dalam bacaan pertama tidak disyaratkan bersuci (mandi janabah), jadi cukup dengan terputusnya darah haid maka saat itu ia boleh digauli oleh suaminya karena ia telah menjadi suci (yath-hur-na). Sedangkan bacaan kedua mensyaratkan bersuci (mandi) terlebih dahulu, jadi sebelum mandi tidak boleh digauli, karena kata “yath-thah-har-na” artinya adalah bersuci. Sebagian ulama mengkompromikan kedua bacaan itu dengan cara menafsirkan bacaan pertama bagi wanita yang memiliki masa haid selama sepuluh hari, sedangkan bacaan kedua bagi wanita yang memiliki masa haid lebih dari sepuluh hari.[7] Jadi, wanita yang haidnya terputus setelah sepuluh hari dari masa haid, ia boleh digauli oleh suaminya meskipun belum bersuci, sedangkan wanita yang haidnya terputus sebelum sepuluh hari dari masa haid, ia disyaratkan untuk bersuci (mandi) terlebih dahulu.
d.      Menunjukkan dua hukum yang berbeda dalam dua kondisi yang berbeda pula. Misalnya ayat yang berbunyi, “maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu (arjulakum, dengan lam maftuhah) sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al Maidah: 6). Dalam bacaan lain, “dan (sapulah) kakimu (arjulikum, dengan lam maksurah).” Hal ini menunjukkan dua hukum yang berbeda yaitu membasuh (mencuci) kaki dan menyapu (mengusap) kaki. Dalam sunnah, Rasulullah SAW telah menjelaskan bahwa jika seseorang tidak mengenakan khuf[8] ia diwajibkan mencuci kakinya, sedangkan jika ia memakai khuf, ia cukup mengusap khufnya saja.
e.       Menerangkan maksud suatu ayat dan menghindari terjadinya kesalahpahaman. Misalnya ayat yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah (fas’au) kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumuah: 9). Ayat ini seolah-olah memerintahkan kita agar berjalan dengan tergesa-gesa (sa’i) untuk mendatangi shalat Jumat, padahal dalam hadis disebutkan larangan mendatangi shalat dalam keadaan tergesa-gesa. Namun dalam bacaan lain disebutkan, “maka bergeraklah (famdhu) kamu kepada mengingat Allah.” Dari sini, dapat dipahami bahwa yang dimaksud “bersegera” dalam bacaan pertama adalah “bergerak”, yaitu tanpa ketergesa-gesaan. Hal ini sesuai dengan sunnah Nabi SAW yang melarang kita tergesa-gesa ketika mendatangi shalat[9].

Sebagian orang menyangka bahwa tujuh ragam bacaan yang dimaksud dalam hadis-hadis di atas adalah tujuh Qiraat yang populer saat ini yaitu: Naafi’, Ibnu Katsiir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Aamir, ‘Aashim, Hamzah dan Al Kisaa’i. Anggapan ini sama sekali tidak benar bahkan salah kaprah, karena ketika Rasulullah SAW bersabda tentang tujuh ragam bacaan dalam Al Quran, para Qurra’ itu belum lahir. Kemungkinan besar kerancuan ini disebabkan oleh pemilihan nama-nama Qurra’ yang hanya dibatasi pada tujuh orang saja sebagaimana dilakukan oleh Imam Asy-Syathibi, sehingga orang awam mengira bahwa tujuh Qurra’ itulah yang dimaksud tujuh ragam bacaan dalam hadis Nabi SAW. Wallahu a’lam bish showab.[10]








BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Para orientalis memandang penyebab munculnya ragam bacaan, yaitu : Pertama, menurut Jeffery kekurangan tanda titik dalam Mushaf `Uthmani berarti merupakan peluang bebas bagi pembaca memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna ayat yang ia pahami.
Kedua, metode mereka adalah untuk mengum­pulkan semua pendapat, spekulasi, asas praduga, dan kecenderungan untuk menyimpulkan melalui pemilihan clan penemuan yang sesuai dengan tempat, waktu, dan kondisi pada waktu mengambil pertimbangan teks tanpa menghiraukan mata rantai riwayat.
2.      Perbedaan ragam bacaan itu hanya berkisar pada cara membacanya saja, tidak sampai bertentangan satu sama lain dalam kesimpulan hukum.
3.      Hikmah diturunkannya al-Qur’an dengan ragam bacaan, diantaranya : Memudahkan umat Islam (khususnya bangsa Arab terdahulu) untuk membaca Al Quran sesuai dengan dialek masing-masing atau dialek yang dianggap paling mudah, menyatukan bahasa umat Islam masa kini dengan bahasa persatuan, yaitu bahasa Arab Quraisy, menggabungkan dua hukum yang berbeda dalam satu ayat sekaligus.









DAFTAR PUSTAKA

Az-Zarqani,Syaikh.Manaahil Al-‘Irfaan  juz1.
Asy-Syari’ah,Shadr.At-Taudhih Syarh At-Tanqih juz 2.
Prof.Dr.M.M.Al-Azami.2005.The History of The Qur’anic Text : from Revelation to Complikation.Jakarta : Gema Insani.


[1]Prof.Dr.M.M.Al-Azami, The History of The Qur’anic Text : from Revelation to Complikation, Gema Insani, Jakarta, 2005, hlm.73. Lihat juga ‘Abdul-Halim Najjar, Madhahib at-Tafsiral-Islami, Kairo, 1955, hlm. 9-16. Ini terjemahan bahasa Arab bukunya Goldziher.
[2] Masyarakat Muslim tidak ada masalah dengan isnad atau riwayat ketika menghafal Al-Qur’an, karena ini tidak praktis dan tidak perlu untuk orang biasa setelah kita tahu bahwa Al-Qur’an ada di mana-mana di setiap rumah dan setiap mulut. Bagaimanapun pembaca yang professional dan Ilmuwan mengikuti isnads, sebagai penjaga yang dipercayai untuk memastikan bahwa teks yang sampai pada masyarakat adalah tepat dan tidak ada kerusakan. Saya juga sama, walaupun menulis pada abad 15 H. / 21 M., saya bisa memberikan isnad untuk bacaan Al-Qur’an.
[3] . Ilmuwan yang meneliti naskah resmi Mushaf ‘Uthmani, mencatat perbedaan hanya empat puluh karakter; ini berdasarkan pada perbedaan dalam kerangka itu sendiri. Satu ribu macam bacaan menurut Ibn Mujahid itu dikarenakan perbedaan dalam meletakkan tanda titik dan tanda pada kata­kata tertentu, selain dari perbedaan kerangka huruf.
[4] Ibid., hlm.75
[5] Ibid., hlm.75
[6] Ibid., hlm.76
[7] Shadr Asy-Syari’ah, At-Taudhih Syarh At-Tanqih juz 2,hlm. 236.
[8] Khuf adalah alas kaki terbuat dari kulit binatang yang menutup telapak hingga mata kaki, dapat menahan masuknya air dan dapat dipakai berjalan.
[9] Yaitu hadis yang berbunyi, “Jika telah dikumandangkan shalat, maka jangan kalian mendatanginya dengan cara berjalan cepat, tapi datangilah dengan cara berjalan biasa.” (HR. Bukhari-Muslim)
[10] Syaikh Az-Zarqani,Manaahil Al-‘Irfaan  juz 1,hlm. 125-127

1 komentar: