Sabtu, 27 Mei 2017

(PSIKOLOGI TAFSIR) TAFSIR AL-MANAR



MUHAMMAD ABDUH DAN RASYID RIDHA
BESERTA TAFSIR AL-MANAR
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah : Psikoloi Tafsir
Dosen Pengampu : Fatma Laili Khoirunnida, S. Ag., Msi

Logo_STAIN_Kudus_Jawa_Tengah

Disusun oleh :
Lu’lu’ul Luthfiyah      (1530110009)


 


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) KUDUS
JURUSAN USHULUDDIN / IQT 3A
2016

BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar  Belakang
Perkembangan tafsir selalu mengalami perubahan dalam setiap masa, baik itu dalam aspek metode ataupun paradigma dalam penafsiran. Sehingga dari setiap masa mempunyai cirri dan karakteristik tersendiri untuk membedakan satu dengan yang lainnya. Sebut saja, tafsir yang berkembang pada era modern mempunyai kekhasan tersendiri dari era sebelumnya. Yakni bahwa tafsir era modern mengalami peralihan dari sumber-sumber lisan menuju sumber-sumber tertulis. Dalam hal ini yang menjadi sorotan adalah tafsir al-Manar yang notabene merupakan bibit munculnya tafsir era modern.
Tafsir ini merupakan buah karya dari tokoh revolusioner di Mesir, yakni Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Yang mana dalam melakukan penafsiran al-Quran, mereka lebih mengutamakan aspek rasionalitas dan peranan sosial sehingga tidak hanya bertaqlid buta terhadap penafsiran tokoh-tokoh (mufassir) sebelumnya. Muhammad Abduh menilai kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya tidak lain kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling berbeda, dan pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkanya al-Quran.[1]
Sebagian dari kitab-kitab tafsir tersebut sedemikian gersang dan kaku, karena penafsiranya hanya mengarahkan perhatian kepada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan lain menyangkut segi-segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat al-Quran. Oleh karena itu kitab-litab tafsir tersebut cenderung menjadi semacam latihan praktis dalam bidang kebahasaan. Bukan kitab tafsir yangsesungguhnya.[2]
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa tafsir al-Manar  merupakan bibit dari tafsir modern, tafsir ini juga menjadi inspirasi ataupun rujukan dalam karya-karya tafsir pada masa sesudahnya. Oleh karena itu, perlulah kita mempelajari dan membahas mengenai tafsir al-Manar, sebagaimana yang  akan dibahas dalam makalah ini.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah biografi Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha?
2.      Bagaimana sejarah penulisan kitab tafsir al-Manar?
3.      Bagaiamanakah metode dalam penulisan tafsir al-Manar?
4.      Bagaimanakah sistematika dalam kitab tafsir al-Manar?


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
1.      Muhammad Abduh
Syaikh Muhammad Abduh adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairulah. Ia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada 1849M. Ia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan bangsawan. Namun demikian ayahnya  dikenal sebagai orang  terhormat  yang  suka  memberi pertolongan.[3]
Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan. Semuasaudarannya membantu ayahnya mengelola usaha pertanian, kecuali muhammad abduhyang olehayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu pengetahuan. Pilihan ini mungkin hanya suatu kebetulan atau mungkin juga karena ia sangat di cintai ayah serta ibunya.[4]
Dalam usia 12 tahun Abduh telah hafal al-Qur’an. Kemudian, pada usia 13 tahun ia dibawa ke Tanta untuk belajar di Masjid Ahamdi. Masjid ini sering disebut “Masjid Syeikh Ahmad” yang kedudukannya dianggap sebagai level kedua setelah Azhar dari segi menghafal dan belajar al-Qur’an. Pelajaran di masjid Ahmadi ini ia selesaikan selama 2 tahun. Namun Abduh merasa tak mengerti apa-apa. Tentang pengalamannya ini Abduh menceritakan : “Satu setengah tahun saya belajar di Masjid Syeikh Ahmad dengan tak mengerti suatu apapun. Ini adalah karena metodenya yang salah. Guru-guru mulai mengajak kita untuk menghafal istilah-istilah tentang nahwu dan  fiqh yang tak kita ketahui artinya, guru tak merasa penting apakita mengetahui atau tidak mengerti istilah-istilah itu.[5]
Muhammad Abduh melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar, di Kairo dan berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1877. Ketika menjadi mahasiswa di Al Azhar, pada tahun 1869 Abduh bertemu dengan seorang ulama' besar sekaligus pembaharu dalam dunia Islam, Said Jamaluddin Al Afghany, dalam sebuah diskusi. Sejak saat itulah Abduh tertarik kepada Jamaluddin Al Afghany dan banyak belajar darinya. Al Afghany adalah seorang pemikir modern yang memiliki semangat tinggi untuk memutus rantai-rantai kekolotan dan cara-cara berfikir yang fanatik.
Udara baru yang ditiupkan oleh Al Afghany, berkembang pesat di Mesir terutama di kalangan mahasiswa Al Azhar yang dipelopori oleh Muhammad Abduh. Karena cara berpikir Abduh yang lebih maju dan sering bersentuhan dengan jalan pikiran kaum rasionalis Islam (Mu'tazilah), maka banyak yang menuduh dirinya telah meninggalkan madzhab Asy'ariyah. Terhadap tuduhan itu ia menjawab: "Jika saya dengan jelas meninggalkan taklid kepada Asy'ary, maka mengapa saya harus bertaklid kepada Mu'tazilah? Saya akan meninggalkan taklid kepada siapapun dan hanya berpegang kepada dalil yang ada".
2.      Rasyid Ridha
Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Menurut keterangan, ia berasal dari keturunan al-Husain, cucu Rasulullah. Semasa kecil, ia belajar di sebuah sekolah tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca al-Qur’an. Pada tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di al-Madrasah al-Bataniah al-Islamiyyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Sekolah ini didirikan oleh al-Syaikh Husain al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern. Di Madrasah ini, selain dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa Turki dan Perancis, dan di samping pengetahuan-pengetahuan agama juga diajarkan pengetahuan modern.
Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Namun hubungan dengan al-Syaikh Hussein al-Jisr berjalan terus dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majalah al-Urwah al-Wutsqa. Ia berniat untuk menggabungkan diri dengan al-Afghani di Istambul, tetapi niat itu tidak terwujud. Sewaktu Muhammad Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, ia mendapat kesempatan baik untuk  berjumpa dan berdialog dengan murid utama al-Afghani itu. Pemikiran-pemikiran pembaruanyang diperolehnya dari al-Syaikh Hussain al-Jisr dan yang kemudian diperluas lagi dengan ide-ide al-Afghani dan Muhammad Abduh amat mempengaruhi jiwanya.
Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan tafsir modern dari al-Qur’an, yaitu tafsir yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada gurunya,Muhammad Abduh, supaya menulis tafsir modern. Karena selalu didesak, Abduh akhirnya setuju untuk memberikan  kuliah mengenai tafsir al-Qur’an di al-Azhar.  Kuliah-kuliah itu dimulai pada tahun 1899. Keterangan-keterangan yang diberikan gurunya oleh Rasyid Ridha dicatat untuk selanjutnya disusun dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan selanjutnya kepada guru untuk diperiksa. Setelah mendapat persetujuan lalu disiarkan dalam al-Manar. Dengan demikian, akhirnya muncullah apa yang kemudian dikenal dengan Tafsir al- Manar. Muhammad Abduh sempat memberikan tafsir hanya sampai pada ayat 125 dari surat An- Nisa (Jilid III dari Tafsir al-Manar) dan yang selanjutnya adalah tafsiran muridnya sendiri.
Di dalam majalah al-Manar pun, Rasyid Ridha menulis dan memuat karya-karya yang menentang pemerintahan absolut kerajaan Utsmani. Selain itu, tulisan-tulisan yang menentang politik Inggris dan Perancis untuk membelah-belah dunia Arab di bawah kekuasaan mereka.
Di masa tua Rasyid Ridha, meskipun kesehatannya telah terganggu, ia tidak mua tinggal diam an senantiasa aktif. Akhirnya ia meninggal dunia di bulan Agustus tahun 1935 M, sekembalinya dari mengantarkan Pangeran Su’ud ke kapal Suez.[6]
B.     Penjelasan Tafsir al-Manar
Pada dasarnya penulisan Tafsir al-Manar bermula dari gagasan pemikiran dari tiga tokoh pembaharuan dalam Islam. Yaitu Jamaluddin al-Afgani, Syekh Muhammad Abduh dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.
Syaikh Muhammad Abduh telah merintis kebangkitan ilmiah dan memberikan buahnya kepada murid-muridnya. Kebangkitan ini berpusat pada kesadaran islami, upaya pemahaman sosiologis islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini. Benih-benih kebangkitan itu sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaludin al-Afgani, yang kepadanya Muhammad Abduh berguru. Abduh memberikan mata kuliah tafsir di Universitas al-Azhar dan mendapat sambutan baik dari murid dan mahasiswanya. Dan Rasyid Ridha adalah murid paling tekun mempelajari mata kuliah tersebut, paling semangat dan mencatatnya dengan teliti. Maka dapatlah dikatakan bahwa ia adalah ahli waris tunggal bagi ilmu-ilmu Syaikh Muhammad Abduh. Buah nyata akal hal ini tampak jelas dalam tafsirya yang diberi nama Tafsir al-Quran al- Hakim.[7]
Sebagai tafsir yang membawa pembaharuan, tafsir al-Manar banyak berbicara tentang sunatullah dan menggugah kesadaran umat terhadapnya. Hal tersebut terlihat dengan jelas ketika menafsirkan ayat-ayat akidah (teologis) khususnya yang berkenaan dengan hubungan antara takdir, kehendak, kekuasaan, dan keadilan Allah dengan kehendak, kebebasan, dan kemampuan manusia. Karena itu, maju-mundurnya suatu bangsa, berkembang-runtuhnya suatu negara, bahagia-sengsaranya seseorang dan kalah menangnya suatu kaum di dalam peperangan menurut teologi yang dikembangkan oleh Rasyid Ridha, tidak tergantung pada nasib, tetapi tergantung pada sejauh mana adanya keserasiannya antara perilaku mereka dengan sunatullah.[8]
C.    Metode dalam Tafsir al-Manar
Secara global dapat dikemukakan bahwa Muhammad Abduh (guru Muhammad Rasyid Ridha)[9] hidup dalam suatu masyarakat yang tengah disentuh oleh berbagai perkembangan yang ada di Eropa, dimana masyarakatnya sangat kaku, beku dan menutup pintu ijtihad, hal ini muncul karena adanya kecenderungan umat yang merasa cukup dengan produk ulama-ulam terdahulu, sehingga akal mereka beku (jumud), sementara di Eropa sendiri sedang berkembang biak pola kehidupan yang mendewakan akal. Sehingga muncul kelompok yang taqlid (mayoritas jumlahnya) dan kelompok tajdid (minoritas jumlahnya).
Berdasarkan kondisi di atas, Muhammad Abduh bermaksud dalam setiap penuangan pikirannya termasuk dalam kitab tafsirnya berkeinginan untuk selalu mengingatkan sekaligus menyadarkan umat untuk kembali kepada al-Qur’an dan Hadis. Seruan ini pula yang mengajak umat kepada fungsionalisasi akal dalam memahami al-Qur’an.
Dengan demikian suatu hukum ditetapkan berdasarkan suatu kondisi tertentu dan hendaknya kondisi tersebut dijelaskan. Bila kondisi berubah, ketetapan itu juga dapat berubah. Melalui terobosannya itu, Abduh berusaha mencapai tujuannya, yakni menjelaskan hakikat ajaran Islam yang murni, menurut pandangannya, serta menghubungkannya dengan kehidupan masa kini. Beberapa prinsip penafsiran yang menjadikan kerangka metodologi tafsir al-manarnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, penggunaan akal secara luas dalam menafsirkan al-Qur’an. Rasionalitas yang dijunjung tinggi oleh pengarang tafsir ini bertitik tolak dari asumsi bahwa ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini, kecuali melalui pembuktian logika, sebagaimana diakuinya pula bahwa ada masalah keagamaan yang sulit dipahami akal, tetapi tidak bertentangan dengan akal.[10]
Kedua, dikalangan ulama tafsir, Abduh dikenal sebagai face maker (peletak dasar) penafsiran yang bercorak Adabi-Ijtima’i (sastra dan budaya kemasyarakatan). Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan keadaan masyarakat dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan.[11]
Secara umum sebenarnya metode yang dipakai dalam tafsir al-Manar tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab tafsir yang lain yang menggunakan metode Tahlili dengan menerapkan sistematika tertib Mushafi. Namun karena penekanannya terhadap operasionalisasi petunjuk al-Qur’an dalam kehidupan umat Islam secara nyata, maka tafsir ini bisa dikatakan berbeda dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Metode yang dirintis oleh Muhammad Abduh ini selanjutnya dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Rasyid Ridha, al-Maraghi dan Amin Khuli.[12]
Pada dasarnya Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya, Muhammad Abduh. Persamaannya yaitu:
1.      Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi
2.      Ayat Al-Qur’an bersifat umum
3.      Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
4.      Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an
5.      Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw.
6.      Bersikap hati-hati terhadap pendapat sahabat
Adapun aspek yang menarik dari tafsir al-Manar adalah bahwa tafsir tersebut berawal dari ceramah-ceramah di depan publik dan kemudian dirumuskan dalam bentuk tulisan. Dengan model semacam ini tentunya tidak mengherankan apabila muatan yang ada pada tafsir tersebut bersifat komunikatif dan memiliki kaitan yang sangat dekat dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat.
D.    Sistematika dalam Tafsir al-Manar
Sistematika kitab Tafsir al-Manar tidak jauh beda dengan kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang lain (dengan metode tahlili). Kitab Tafsir al-Manar merupakan sistematika tertib mushafi, yaitu sistem penafsiran yang berkembang secara umum periode ketiga, sejak mulai terpisahnya disiplin tafsir dengan disiplin hadis yaitu dengan munculnya trend baru menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat menurut tertib susunan mushaf Al-Qur’an.
Adapun yang membedakan Kitab Tafsir al-Manar dengan kitab tafsir sebelumnya adalah terletak pada gaya analisisnya yang menitik beratkan pada aspek ketelitian redaksinya, adapun penelitian terhadap Kitab Tafsir al-Manar yang dilakukan oleh Syihathah, menemukan bahwa prinsip-prinsip penafsiran al-Manar adalah:
1.      Kesatuan utuh seluruh surst-surat al-Qur’an
2.      Kesatuan tema dalam satu surat
3.      Bertopang pada kemampuan akal
4.      Pemberantasan taqlid
5.      Tidak banyak penafsiran dengan atsar
6.      Berhati-hati dengan cerita-cerita israiliyyat
7.      Al-Qur’an adalah sumber utama bagi hukum
8.      Ayat-ayat Al-Qur’an bersifat umum
9.      Menghindari pembicaraan panjang lebar
Kitab Tafsir al-Manar merupakan Kitab Tafsir dengan corak dan gaya bahasa yang terhitung baru. Az-Zahabi mengatakan bahwa kitab tafsir al-Manar termasuk dalam kategari kitab modern, karena menampilkan suatu bentuk penafsiran yang belum pernah berlaku pada masa sebelumnya, yaitu tafsir dengan corak sastra budaya kemasyarakatan (al-adab al-ijtima’i). Tokoh utama sebagai peletak dasar corak tafsir al-adabi al-ijtima’i ini adalah Muhammad Abduh yang kemudian dikembangkan oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridha.
Muhammad Abduh, dengan metode tersebut, telah membawa dirinya sebagai mufassir yang menfsirkan al-Qur’an secara rasional. Dengan demikian, rasionalitas tafsirnya buan data disimak dan diamati dari segi pandangannya yang dinamis tetang tafsir, tetapi juga dari segi metode tafsirnya. Tinggal lagi yang perlu segera dilihat, bgaimana rasionaitas tafsirnya dalam bidang akhidah dan bidang ibadat.[13]












BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Manar merupakan karya tafsir modern yang ditulis oleh Muhammad Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha. Keduanya merupakan tokoh revolusioner dari Mesir yang ingin menghapus tradisi taqlid buta yang terjadi ketika itu. Mereka beranggapan bahwa perlu adanya paradigma baru (menggunakan rasionalitas) untuk memahami suatu pemahaman, sehingga Islam dapat mengejar ketinggalan yang terjadi ketika itu. Pada mulanya tafsir al-Manar merupakan materi Abduh yang diajarkan di Masjid al-Azhar dan dicatat oleh muridnya bernama Muhammad Rasyid Ridha, yang kemudian Rasyid Ridha berinisiatif tulisan-tulisannya itu dijadikan sebuah buku tafsir, karena sebelumnya tulisannya di sebuah majalah tersebar luas dan berpengaruh terhadap negara-negara Arab. Kemudian semua pengajaran Abduh dicatat oleh muridnya untuk kemudian dikoreksi kembalioleh Abduh.
Metode yang digunakan dalam tafsir al-Manar adalah tahlili sebagaimana yang ada padametode tahlili dalam tafsir-tafsir terdahulu. 2anya saja al-Manar  bukan hanya menitik beratkan pada aspek balaghah ayat, namun juga mengkaitkan makna ayat dengan kondisi dan persoalan yang ada pada masyarakat sekarang. Sedangkan corak tafsir tersebut adalah Adabi-Ijtima’I (sastra dan budaya kemasyarakatan') sebagaimana corak tafsir al-Manar merupakan penggagas dari corak  adabi ijtima’i.








DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan,Manna Khalil. 2009.Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor:PT Pustaka Litera Antarnusa.
Anwar,Rosihan.2001.Samudera Al-Qur’an.Bandung:CV Pustaka Setia.
Athaillah,Ahmad. 2006.Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional Alam Tafsir al-Manar. Jakarta:Erlangga.
Faiz, Fachruddin.2002. Hermeneutika Qur’an.Yogyakarta:Qalam.
Nasution,Harun.1992. Pembaharuan dalam Islam.Jakarta:Bulan Bintang.
Nawawi, Rif’at Syauqi.2002 Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh.Jakarta:Paramadina.
Syihab,Quraisy.1994. Studi Kritis Tafsir Al-Manar. Bandung:


[1] Quraish Shihab,Studi Kritis Tafsir al-Manar,Bandung,Pustaka Hidayah,1994,hlm.22.
[2]Ibid.,hlm.22.
[3] Ibid.,hlm.11.
[4] Ibid.,hlm.12.
[5] Harun Nasution,Pembaharuan dalam Islam,Jakarta,Bulan Bintang,1992,hlm.59.
[6] Quraisy Syihab, Studi Kritis Tafsir Al-Manar, Bandung, Pustaka Hidayah, 1994, hlm.60.
[7] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Bogor, PT.Pustaka Litera Antar Nusa, hlm.511-512.
[8] A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional Alam Tafsir al-Manar, Jakarta,Erlangga, 2006, hlm.7.
[9] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor, PT Pustaka Litera Antarnusa, 2009, hlm.512.
[10] Rosihan Anwar, Samudera Al-Qur’an, Bandung, CV Pustaka Setia, 2001, hlm. 260.
[11] Ibid.,hlm.260.
[12] Fachruddin Faiz, Hermeneutika Qur’an, Yogyakarta, Qalam, 2002, hlm.71.
[13] Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Jakarta, Paramadina, 2002, hlm.114.

2 komentar:

  1. Tafsir al-Manar itu termasuk tafsir Timur Tengah kah? lalu bagaimana kondisi psikis beliau ketika melakukan penafsiran?

    BalasHapus
  2. pada saat menafsirkan, Moh. Abduh terpengaruh dengan faham Mu'tazilah hingga berpengaruh juga pada Rasyid Ridha.. Dari itu dapat difahami bahwa mereka menafsirkan al-qur'an dengan mengutamakan pemahaman rasional dan kebebasan akal.

    BalasHapus