MUHAMMAD ABDUH DAN RASYID RIDHA
BESERTA TAFSIR AL-MANAR
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester
Mata
Kuliah : Psikoloi Tafsir
Dosen
Pengampu : Fatma Laili Khoirunnida, S. Ag., Msi

Disusun oleh :
Lu’lu’ul Luthfiyah (1530110009)
![]() |
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) KUDUS
JURUSAN
USHULUDDIN / IQT 3A
2016
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan
tafsir selalu mengalami perubahan dalam setiap masa, baik itu dalam aspek metode ataupun
paradigma dalam penafsiran. Sehingga dari setiap masa mempunyai cirri dan
karakteristik tersendiri untuk membedakan satu dengan yang lainnya. Sebut saja,
tafsir yang berkembang pada era modern mempunyai kekhasan tersendiri dari
era sebelumnya. Yakni bahwa tafsir era
modern mengalami peralihan dari sumber-sumber lisan menuju sumber-sumber
tertulis. Dalam hal ini yang menjadi
sorotan adalah tafsir al-Manar yang
notabene merupakan bibit munculnya
tafsir era modern.
Tafsir
ini merupakan buah karya dari tokoh revolusioner di Mesir, yakni Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha. Yang mana dalam melakukan penafsiran al-Quran, mereka lebih mengutamakan
aspek rasionalitas dan peranan sosial sehingga tidak hanya bertaqlid buta terhadap penafsiran
tokoh-tokoh (mufassir) sebelumnya. Muhammad Abduh menilai kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-masa sebelumnya tidak
lain kecuali pemaparan berbagai pendapat ulama yang saling berbeda, dan pada akhirnya
menjauh dari tujuan diturunkanya al-Quran.[1]
Sebagian
dari kitab-kitab tafsir tersebut sedemikian gersang dan kaku, karena penafsiranya
hanya mengarahkan perhatian kepada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan
lain menyangkut segi-segi teknis kebahasaan
yang dikandung oleh redaksi ayat al-Quran. Oleh karena itu kitab-litab tafsir
tersebut cenderung menjadi semacam
latihan praktis dalam bidang kebahasaan. Bukan
kitab tafsir yangsesungguhnya.[2]
Sebagaimana
yang kita ketahui bahwa tafsir al-Manar merupakan
bibit dari tafsir modern, tafsir ini juga menjadi inspirasi ataupun
rujukan dalam karya-karya tafsir pada masa sesudahnya. Oleh karena itu, perlulah kita mempelajari dan membahas
mengenai tafsir al-Manar, sebagaimana yang
akan dibahas dalam makalah ini.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah
biografi Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha?
2.
Bagaimana sejarah
penulisan kitab tafsir al-Manar?
3.
Bagaiamanakah metode dalam
penulisan tafsir al-Manar?
4.
Bagaimanakah sistematika
dalam kitab tafsir al-Manar?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
1. Muhammad
Abduh
Syaikh Muhammad Abduh adalah Muhammad bin
Abduh bin Hasan Khairulah. Ia dilahirkan
di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada 1849M. Ia
berasal dari keluarga yang tidak tergolong
kaya, bukan pula keturunan bangsawan. Namun demikian ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka memberi pertolongan.[3]
Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan
keluarga petani di pedesaan. Semuasaudarannya membantu ayahnya mengelola
usaha pertanian, kecuali muhammad abduhyang olehayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu
pengetahuan. Pilihan ini mungkin hanya suatu kebetulan atau mungkin juga karena ia
sangat di cintai ayah serta ibunya.[4]
Dalam usia 12 tahun Abduh telah hafal
al-Qur’an. Kemudian, pada usia 13 tahun ia dibawa ke Tanta untuk belajar di Masjid
Ahamdi. Masjid ini sering disebut “Masjid Syeikh Ahmad” yang kedudukannya dianggap
sebagai level kedua setelah Azhar dari segi menghafal dan belajar al-Qur’an. Pelajaran di masjid Ahmadi
ini ia selesaikan selama 2 tahun. Namun Abduh merasa tak
mengerti apa-apa. Tentang pengalamannya ini Abduh menceritakan : “Satu setengah tahun saya belajar di Masjid Syeikh Ahmad
dengan tak mengerti suatu apapun. Ini adalah
karena metodenya yang salah. Guru-guru mulai mengajak kita untuk menghafal istilah-istilah
tentang nahwu dan fiqh yang tak kita ketahui
artinya, guru tak merasa penting apakita
mengetahui atau tidak mengerti istilah-istilah itu.[5]
Muhammad Abduh melanjutkan studinya ke Universitas Al Azhar,
di Kairo dan berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1877. Ketika menjadi
mahasiswa di Al Azhar, pada tahun 1869 Abduh bertemu dengan seorang ulama'
besar sekaligus pembaharu dalam dunia Islam, Said Jamaluddin Al Afghany, dalam
sebuah diskusi. Sejak saat itulah Abduh tertarik kepada Jamaluddin Al Afghany
dan banyak belajar darinya. Al Afghany adalah seorang pemikir modern yang
memiliki semangat tinggi untuk memutus rantai-rantai kekolotan dan cara-cara
berfikir yang fanatik.
Udara baru yang ditiupkan oleh Al Afghany, berkembang pesat
di Mesir terutama di kalangan mahasiswa Al Azhar yang dipelopori oleh Muhammad
Abduh. Karena cara berpikir Abduh yang lebih maju dan sering bersentuhan dengan
jalan pikiran kaum rasionalis Islam (Mu'tazilah), maka banyak yang menuduh
dirinya telah meninggalkan madzhab Asy'ariyah. Terhadap tuduhan itu ia
menjawab: "Jika saya dengan jelas meninggalkan taklid kepada Asy'ary, maka
mengapa saya harus bertaklid kepada Mu'tazilah? Saya akan meninggalkan taklid
kepada siapapun dan hanya berpegang kepada dalil yang ada".
2. Rasyid Ridha
Rasyid Ridha adalah murid
Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di al-Qalamun,
suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria).
Menurut keterangan, ia berasal dari keturunan
al-Husain, cucu Rasulullah. Semasa kecil, ia belajar di sebuah sekolah
tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca al-Qur’an.
Pada tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di al-Madrasah al-Bataniah
al-Islamiyyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Sekolah ini didirikan oleh
al-Syaikh Husain al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh
ide-ide modern. Di Madrasah ini, selain dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa
Turki dan Perancis, dan di samping pengetahuan-pengetahuan agama juga
diajarkan pengetahuan modern.
Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah
agama yang ada di Tripoli. Namun hubungan dengan al-Syaikh Hussein al-Jisr
berjalan terus dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa
muda. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh melalui majalah
al-Urwah al-Wutsqa. Ia berniat
untuk menggabungkan diri dengan
al-Afghani di Istambul, tetapi niat itu tidak terwujud. Sewaktu Muhammad
Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, ia mendapat kesempatan baik
untuk berjumpa dan berdialog dengan murid utama al-Afghani itu. Pemikiran-pemikiran
pembaruanyang diperolehnya dari al-Syaikh Hussain al-Jisr dan yang kemudian
diperluas lagi dengan ide-ide al-Afghani dan
Muhammad Abduh amat mempengaruhi jiwanya.
Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan tafsir modern dari
al-Qur’an, yaitu tafsir yang sesuai dengan
ide-ide yang dicetuskan gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada gurunya,Muhammad
Abduh, supaya menulis tafsir modern. Karena selalu didesak, Abduh akhirnya setuju untuk memberikan kuliah mengenai tafsir al-Qur’an di
al-Azhar. Kuliah-kuliah itu dimulai pada
tahun 1899. Keterangan-keterangan yang diberikan gurunya oleh Rasyid Ridha
dicatat untuk selanjutnya disusun dalam
bentuk karangan teratur. Apa yang ia tulis ia serahkan selanjutnya
kepada guru untuk diperiksa. Setelah mendapat persetujuan lalu disiarkan dalam
al-Manar. Dengan demikian, akhirnya muncullah
apa yang kemudian dikenal dengan Tafsir al- Manar. Muhammad Abduh sempat memberikan tafsir hanya
sampai pada ayat 125 dari surat An- Nisa (Jilid III dari Tafsir al-Manar) dan yang selanjutnya adalah
tafsiran muridnya sendiri.
Di dalam majalah al-Manar pun, Rasyid Ridha menulis
dan memuat karya-karya yang menentang pemerintahan absolut kerajaan Utsmani.
Selain itu, tulisan-tulisan yang menentang politik Inggris dan Perancis
untuk membelah-belah dunia Arab di bawah kekuasaan mereka.
Di masa tua Rasyid Ridha, meskipun kesehatannya telah
terganggu, ia tidak mua tinggal diam an senantiasa aktif. Akhirnya ia meninggal
dunia di bulan Agustus tahun 1935 M, sekembalinya dari mengantarkan Pangeran
Su’ud ke kapal Suez.[6]
B. Penjelasan Tafsir al-Manar
Pada dasarnya penulisan
Tafsir al-Manar bermula dari
gagasan pemikiran dari tiga tokoh pembaharuan dalam Islam. Yaitu
Jamaluddin al-Afgani, Syekh Muhammad Abduh
dan Sayyid Muhammad Rasyid Ridha.
Syaikh Muhammad Abduh telah merintis kebangkitan ilmiah dan
memberikan buahnya kepada murid-muridnya. Kebangkitan ini berpusat pada
kesadaran islami, upaya pemahaman sosiologis
islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan masa kini. Benih-benih kebangkitan itu
sebenarnya dimulai dengan gerakan Jamaludin al-Afgani, yang kepadanya Muhammad Abduh berguru. Abduh
memberikan mata kuliah tafsir di Universitas al-Azhar dan mendapat
sambutan baik dari murid dan mahasiswanya. Dan Rasyid Ridha adalah murid paling
tekun mempelajari mata kuliah tersebut, paling semangat dan mencatatnya dengan
teliti. Maka dapatlah dikatakan bahwa ia
adalah ahli waris tunggal bagi ilmu-ilmu Syaikh Muhammad Abduh. Buah nyata akal hal ini tampak jelas dalam tafsirya yang
diberi nama Tafsir al-Quran al- Hakim.[7]
Sebagai tafsir
yang membawa pembaharuan, tafsir al-Manar banyak berbicara tentang sunatullah
dan menggugah kesadaran umat terhadapnya. Hal tersebut terlihat dengan jelas
ketika menafsirkan ayat-ayat akidah (teologis) khususnya yang berkenaan dengan
hubungan antara takdir, kehendak, kekuasaan, dan keadilan Allah dengan
kehendak, kebebasan, dan kemampuan manusia. Karena itu, maju-mundurnya suatu
bangsa, berkembang-runtuhnya suatu negara, bahagia-sengsaranya seseorang dan
kalah menangnya suatu kaum di dalam peperangan menurut teologi yang
dikembangkan oleh Rasyid Ridha, tidak tergantung pada nasib, tetapi tergantung
pada sejauh mana adanya keserasiannya antara perilaku mereka dengan sunatullah.[8]
C. Metode
dalam Tafsir al-Manar
Secara global dapat dikemukakan bahwa Muhammad Abduh (guru
Muhammad Rasyid Ridha)[9]
hidup dalam suatu masyarakat yang tengah disentuh oleh berbagai perkembangan
yang ada di Eropa, dimana masyarakatnya sangat kaku, beku dan menutup pintu
ijtihad, hal ini muncul karena adanya kecenderungan umat yang merasa cukup
dengan produk ulama-ulam terdahulu, sehingga akal mereka beku (jumud),
sementara di Eropa sendiri sedang berkembang biak pola kehidupan yang
mendewakan akal. Sehingga muncul kelompok yang taqlid
(mayoritas jumlahnya) dan kelompok tajdid (minoritas jumlahnya).
Berdasarkan kondisi di atas, Muhammad Abduh bermaksud dalam
setiap penuangan pikirannya termasuk dalam kitab tafsirnya berkeinginan untuk
selalu mengingatkan sekaligus menyadarkan umat untuk kembali kepada al-Qur’an
dan Hadis. Seruan ini pula yang mengajak umat kepada fungsionalisasi akal dalam
memahami al-Qur’an.
Dengan demikian suatu hukum ditetapkan berdasarkan suatu
kondisi tertentu dan hendaknya kondisi tersebut dijelaskan. Bila kondisi berubah,
ketetapan itu juga dapat berubah. Melalui terobosannya itu, Abduh berusaha
mencapai tujuannya, yakni menjelaskan hakikat ajaran Islam yang murni, menurut
pandangannya, serta menghubungkannya dengan kehidupan masa kini. Beberapa
prinsip penafsiran yang menjadikan kerangka metodologi tafsir al-manarnya dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, penggunaan akal secara luas dalam
menafsirkan al-Qur’an. Rasionalitas yang dijunjung tinggi oleh pengarang tafsir
ini bertitik tolak dari asumsi bahwa ada masalah keagamaan yang tidak dapat
diyakini, kecuali melalui pembuktian logika, sebagaimana diakuinya pula bahwa
ada masalah keagamaan yang sulit dipahami akal, tetapi tidak bertentangan
dengan akal.[10]
Kedua, dikalangan ulama tafsir, Abduh dikenal sebagai face maker
(peletak dasar) penafsiran yang bercorak Adabi-Ijtima’i (sastra dan
budaya kemasyarakatan). Ayat-ayat yang ditafsirkannya selalu dihubungkan dengan
keadaan masyarakat dalam usaha mendorong ke arah kemajuan dan pembangunan.[11]
Secara umum sebenarnya metode yang dipakai dalam tafsir
al-Manar tidak jauh berbeda dengan kitab-kitab tafsir yang lain yang
menggunakan metode Tahlili dengan menerapkan sistematika tertib Mushafi.
Namun karena penekanannya terhadap operasionalisasi petunjuk al-Qur’an dalam
kehidupan umat Islam secara nyata, maka tafsir ini bisa dikatakan berbeda
dengan tafsir-tafsir sebelumnya. Metode yang dirintis oleh Muhammad Abduh ini
selanjutnya dikembangkan oleh murid-muridnya, seperti Rasyid Ridha, al-Maraghi
dan Amin Khuli.[12]
Pada dasarnya Muhammad Rasyid Ridha mengikuti metode dan
ciri-ciri pokok yang digunakan oleh gurunya, Muhammad Abduh. Persamaannya
yaitu:
1. Memandang setiap surah sebagai satu
kesatuan ayat-ayat yang serasi
2. Ayat Al-Qur’an bersifat umum
3. Al-Quran adalah sumber Aqidah dan Hukum
4. Penggunaan akal secara luas dalam
memahami ayat-ayat Al-Qur’an
5. Bersikap hati-hati terhadap hadits
Nabi saw.
6. Bersikap hati-hati terhadap pendapat
sahabat
Adapun aspek yang menarik dari tafsir al-Manar adalah bahwa
tafsir tersebut berawal dari ceramah-ceramah di depan publik dan kemudian
dirumuskan dalam bentuk tulisan. Dengan model semacam ini tentunya tidak
mengherankan apabila muatan yang ada pada tafsir tersebut bersifat komunikatif
dan memiliki kaitan yang sangat dekat dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat
setempat.
D. Sistematika dalam Tafsir al-Manar
Sistematika
kitab Tafsir al-Manar tidak jauh beda dengan kitab-kitab tafsir al-Qur’an yang
lain (dengan metode tahlili). Kitab Tafsir al-Manar merupakan sistematika
tertib mushafi, yaitu sistem penafsiran yang berkembang secara umum periode
ketiga, sejak mulai terpisahnya disiplin tafsir dengan disiplin hadis yaitu
dengan munculnya trend baru menafsirkan al-Qur’an ayat demi ayat menurut tertib
susunan mushaf Al-Qur’an.
Adapun yang
membedakan Kitab Tafsir al-Manar dengan kitab tafsir sebelumnya adalah terletak
pada gaya analisisnya yang menitik beratkan pada aspek ketelitian redaksinya,
adapun penelitian terhadap Kitab Tafsir al-Manar yang dilakukan oleh Syihathah,
menemukan bahwa prinsip-prinsip penafsiran al-Manar adalah:
1.
Kesatuan utuh seluruh surst-surat
al-Qur’an
2.
Kesatuan tema dalam satu surat
3.
Bertopang pada kemampuan akal
4.
Pemberantasan taqlid
5.
Tidak banyak penafsiran dengan atsar
6.
Berhati-hati dengan cerita-cerita
israiliyyat
7.
Al-Qur’an adalah sumber utama bagi
hukum
8.
Ayat-ayat Al-Qur’an bersifat umum
9.
Menghindari pembicaraan panjang lebar
Kitab Tafsir al-Manar merupakan Kitab Tafsir dengan corak
dan gaya bahasa yang terhitung baru.
Az-Zahabi mengatakan bahwa kitab tafsir al-Manar termasuk dalam kategari kitab
modern, karena menampilkan suatu bentuk penafsiran yang belum pernah berlaku
pada masa sebelumnya, yaitu tafsir dengan corak sastra budaya kemasyarakatan (al-adab
al-ijtima’i). Tokoh utama sebagai peletak dasar corak tafsir al-adabi
al-ijtima’i ini adalah Muhammad Abduh yang kemudian dikembangkan oleh muridnya,
Muhammad Rasyid Ridha.
Muhammad
Abduh, dengan metode tersebut, telah membawa dirinya sebagai mufassir yang
menfsirkan al-Qur’an secara rasional. Dengan demikian, rasionalitas tafsirnya
buan data disimak dan diamati dari segi pandangannya yang dinamis tetang
tafsir, tetapi juga dari segi metode tafsirnya. Tinggal lagi yang perlu segera
dilihat, bgaimana rasionaitas tafsirnya dalam bidang akhidah dan bidang ibadat.[13]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Manar merupakan karya tafsir modern yang ditulis oleh Muhammad
Abduh dan Sayyid Rasyid Ridha. Keduanya
merupakan tokoh revolusioner dari Mesir yang ingin menghapus tradisi taqlid buta yang
terjadi ketika itu. Mereka beranggapan bahwa perlu adanya paradigma baru
(menggunakan rasionalitas) untuk memahami suatu pemahaman, sehingga Islam dapat mengejar ketinggalan yang terjadi ketika
itu. Pada mulanya tafsir al-Manar merupakan materi Abduh yang diajarkan di
Masjid al-Azhar dan dicatat oleh muridnya bernama Muhammad Rasyid Ridha, yang
kemudian Rasyid Ridha berinisiatif tulisan-tulisannya itu dijadikan sebuah buku
tafsir, karena sebelumnya tulisannya di sebuah majalah tersebar luas dan
berpengaruh terhadap negara-negara Arab. Kemudian semua pengajaran Abduh
dicatat oleh muridnya untuk kemudian dikoreksi kembalioleh Abduh.
Metode
yang digunakan dalam tafsir al-Manar adalah tahlili sebagaimana yang ada
padametode tahlili dalam tafsir-tafsir terdahulu. 2anya saja al-Manar
bukan hanya menitik beratkan pada aspek balaghah ayat, namun juga
mengkaitkan makna ayat dengan kondisi dan persoalan yang ada pada masyarakat sekarang. Sedangkan corak tafsir tersebut
adalah Adabi-Ijtima’I (sastra dan budaya
kemasyarakatan') sebagaimana corak tafsir al-Manar merupakan penggagas dari corak adabi
ijtima’i.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan,Manna
Khalil. 2009.Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor:PT Pustaka Litera Antarnusa.
Anwar,Rosihan.2001.Samudera
Al-Qur’an.Bandung:CV Pustaka Setia.
Athaillah,Ahmad. 2006.Rasyid
Ridha; Konsep Teologi Rasional Alam Tafsir al-Manar. Jakarta:Erlangga.
Faiz, Fachruddin.2002.
Hermeneutika Qur’an.Yogyakarta:Qalam.
Nasution,Harun.1992. Pembaharuan
dalam Islam.Jakarta:Bulan Bintang.
Nawawi, Rif’at Syauqi.2002 Rasionalitas
Tafsir Muhammad Abduh.Jakarta:Paramadina.
Syihab,Quraisy.1994. Studi Kritis Tafsir
Al-Manar. Bandung:
[3] Ibid.,hlm.11.
[4] Ibid.,hlm.12.
[5] Harun Nasution,Pembaharuan
dalam Islam,Jakarta,Bulan Bintang,1992,hlm.59.
[6] Quraisy Syihab, Studi Kritis
Tafsir Al-Manar, Bandung, Pustaka Hidayah, 1994, hlm.60.
[7] Manna Khalil al-Qattan, Studi
Ilmu-Ilmu al-Qur’an, Bogor, PT.Pustaka Litera Antar Nusa, hlm.511-512.
[8] A. Athaillah, Rasyid Ridha;
Konsep Teologi Rasional Alam Tafsir al-Manar, Jakarta,Erlangga, 2006, hlm.7.
[9] Manna Khalil al-Qattan, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, Bogor, PT Pustaka Litera Antarnusa, 2009, hlm.512.
[10] Rosihan Anwar, Samudera
Al-Qur’an, Bandung, CV Pustaka Setia, 2001, hlm. 260.
[11] Ibid.,hlm.260.
[12] Fachruddin Faiz, Hermeneutika
Qur’an, Yogyakarta, Qalam, 2002, hlm.71.
[13] Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas
Tafsir Muhammad Abduh, Jakarta, Paramadina, 2002, hlm.114.
Tafsir al-Manar itu termasuk tafsir Timur Tengah kah? lalu bagaimana kondisi psikis beliau ketika melakukan penafsiran?
BalasHapuspada saat menafsirkan, Moh. Abduh terpengaruh dengan faham Mu'tazilah hingga berpengaruh juga pada Rasyid Ridha.. Dari itu dapat difahami bahwa mereka menafsirkan al-qur'an dengan mengutamakan pemahaman rasional dan kebebasan akal.
BalasHapus