BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Bangsa Arab merupakan komunitas dariberbagai suku
yang secara sporadic tersebar diseanjang Jazirah Arab. Setiap suku mempunyai
format dialek yang tipikal dan berbedadengan suku-suku lainnya. Perbedaan
dialek itu tentunya sesuai dengan leta geografis dan sosio-kultural dari
masing-masing suku. Namun demikian, mereka telah menjadikan bahasa quraisy
sebagai bahasa bersama. Dalam berkomunikasi, berniaga, mengunjungi Ka’bah dan
melakukan bentuk-bentuk interaksi lainnya. Dan kenyataan tersebut adalah
sebenarnya kita dapat memahami alas an al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan
bahasa quraisy.
Maka dari itulah, penulis akan membahas tentang
penyebab adanya ragam bacaan dan macam-macam ragam bacaam tersebut.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
penyebab munculnya ragam bacaan al-Qur’an?
2. Apa
saja contoh ragam bacaan al-Qur’an dan hikmah perbedaan bacaan al-Qur’an?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Penyebab
Munculnya Ragam Bacaan
Para
orientalis memandang penyebab munculnya ragam bacaan, yaitu : Pertama, menurut
Jeffery kekurangan tanda titik dalam Mushaf `Uthmani berarti merupakan peluang
bebas bagi pembaca memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna ayat yang
ia pahami. Jika ia menemukan kata tanpa
tanda titik boleh saja dibaca: atau sesuai dengan pilihan karakternya.
Menggunakan tanda titik dan tanda lainnya amat diperlukan guna menyesuaikan
pemahaman sendiri terhadap ayat itu. Sebelum zaman Jeffery, Goldziher dan lainnya
berusaha meyakinkan bahwa menggunakan skrip yang tidak ada tanda titik telah
mengakibatkan munculnya perbedaan. Dalam memperkuat anggapannya, Goldziher
menyuguhkan beberapa contoh potensial yang ia bagi ke dalam dua kelompok.
a. Perbedaan
karena tidak ada kerangka tanda titik.
b. Perbedaan
karena tidak adanya tanda diakritikal
Tampaknya
Jeffery dan Golziher benar melupakan tradisi pengajaran secara lisan, satu
mandat atau perintah yang hanya melalui seorang instruktur kelas kakap, ilmu
Islam dapat diperoleh. Banyak sekali ungkapan Al-Qur an yang dapat secara
kontekstual memasukkan lebih dari satu titik dan tanda diakrikital, tetapi
dalam banyak hal, seorang ilmuwan hanya membaca dengan satu cara. Ketika
perbedaan muncul (dan ini sangat jarang terjadi) kedua kerangka bacaan tetap
mengacu pada Mushaf ‘Uthmani, dan tiap kelompok dapat menjustifikasi bacaannya
atas dasar otoritas mata rantai atau silsilah yang berakhir pada Nabi Muhammad saw.
Atas dasar ini kita dapat menyingkirkan tiap pembaca yang memberi pendapat
nyleneh ingin memasukkan titik dan tanda diakritikal menurut selera keinginan
dirinya. Walaupun telah banyak fakta dalam teori mereka, hendaknya mau
mempertimbangkan jumlah pembaca dan ribuan kerangka (naskah) yang dapat dibaca
melalui empat atau lima cara; Jumlah perbedaan tidak mencapai angka ratusan
ribu atau mungkin jutaan. Ibn Mujahid (w. 324 H.) menghitung, seluruh Mushaf
semuanya hanya ada kira-kira satu ribu multiple bacaan saja.
Kedua,
metode mereka adalah untuk mengumpulkan semua pendapat, spekulasi, asas
praduga, dan kecenderungan untuk menyimpulkan melalui pemilihan clan penemuan
yang sesuai dengan tempat, waktu, dan kondisi pada waktu mengambil pertimbangan
teks tanpa menghiraukan mata rantai riwayat. Untuk membangun teks Taurat dan
Injil sama caranya dengan pembuatan teks puisi Homer atau surat Aristotle, yang
ahli filsafat.
Sudah
tentu kita tidak dapat mengembalikan masa lampau, tetapi kita dapat mengingat
sebagian yang ada melalui sistem persaksian dan pertimbangannya. Menurut
metodologi penelitian dan pendirian ilmuwan Muslim, sangat tidak jujur dalam
masalah saksi, jika menempatkan persaksian orang-orang jujur dan amanah sejajar
tingkatannya dengan pembohong. Tetapi metodologi Jeffery memberikan pengakuan
anggapan pembohong sama seperti seorang yang jujur. Selama tujuan mereka
terlaksana, dia dan teman penyokongnya menerima material yang berbeda-beda
seperti yang dituduhkan kepada tulisan Ibn Mas’ud atau siapa saja, terlepas
sumber yang ada dapat dipercaya atau tidak, dan memandang rendah kekayaan
bacaan yang begitu terkenal.
Dia
beralasan bahwa selain dari tidak ada tanda titik, perbedaan juga muncul karena
beberapa pembaca menggunakan teks yang bertanggalkan sebelum Mushaf ‘Uthmani,
yang kebetulan berbeda dengan kerangka ‘Uthmani dan yang tidak dimusnahkan
walaupun ada perintah dari khalifah.
Tetapi anggapan ini dibesar-besarkan tanpa ada bukti yang kukuh.
Secara
ringkas dijelaskan riwayat yang salah yang menyatakan bahwa Khalifah ‘Ali
membaca satu ayat yang bertentangan dengan Mushaf ‘Uthmani, bacaan : والعصر ونوائب الدهر , ان الانسان لفي خسر Pengarang
buku al-Mabani mengecam
bahwa riwayat ini ada tiga kesalahan:
a. ‘Asim bin Abi an-Najud, salah seorang mahasiswa cemerlang
as-Sulami, yang kemudian jadi salah seorang mahasiswa ‘Ali yang dihormati,
mengaitkan bahwa ‘Ali membaca ayat ini sama seperti yang ada di Mushaf
‘Uthmani.
b. ‘Ali
menjadi khalifah setelah terbunuhnya ‘Uthman. Apakah dia percaya bahwa
pendahulunya bersalah karena menghilangkan kata-kata tertentu, tentunya ini
merupakan kewajiban ‘Ali untuk membetulkan kesalahannya. Jika tidak maka akan
dituduh mengkhianati kepercayaannya.
c. Usaha
‘Uthman mendapatkan dukungan dari seluruh umat Muslim; ‘Ali sendiri berkata
bahwa tidak ada seorang pun yang bersuara menentang, dan kalau dia merasa tidak
suka, tentu ia naik pitam.
Pandangan
ini hanya satu dari beribu pandangan dari sahabat Nabi Muhammad yang
bersemangat menyaksikan pecahan Al-Qur’an tua, sebagaimana kuatnya kesaksian
mereka waktu menyetujui keutuhan naskah Al-Qur’an. Tidak ada tambahan,
pengurangan, maupun penyelewengan. Siapa saja yang menolak pendapat ini dan
mencoba untuk membawa barang baru, mengklaim ini adalah teks sebelum ‘Uthmani
yang disukai oleh sahabat ini atau itu, adalah fitnah buat para sahabat yang
sangat kuat imannya. Ibn Mas’ud sendiri, pengarang al-Masahif dan yang
melengkapi bermacam-macam qira’at yang tidak sama dengan teks `Uthmani, menolak
untuk mengategorikan nilai mereka seperti Al-Qur’an. Dia berkata, “Kita tidak
mengakui bacaan AlQur’an kecuali membaca apa yang tertulis dalam Mushaf
`Uthmani. Jika ada seseorang yang membaca sesuatu yang bertentangan dengan
Mushaf ini dalam shalat, maka saya akan menyuruh agar mengulang shalat
kembali.”
Tahap
pembentukan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru terjadi dalam waktu yang penuh
perubahan, keadaan politik waktu itu menjadikan dua teks benar-benar
acak-acakan. Upaya meniru secara tepat tentang perilaku kejahatan ini ke dalam
teks Al-Qur’an, ilmuwan Barat melihat semua bukti umat Islam dengan penuh
prasangka selagi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru penuh dengan keraguan di dalamnya. Sedang rasa was-was terhadap kebenaran
pada variasi materi yang menghantui pikiran Jeffery, namun demikian dia tidak
pernah mencantumkan dalam bukunya.
Beberapa
varian kelihatannya tidak mungkin terjadi secara bahasa… Beberapa kalangan
berusaha memberikan kesan bahwa perbedaan ini merupakan kelanjutan hasil
ciptaan para ahli ilmu bahasa (philologers)… Hanya saja, sebagian besar
menganggap suatu kelanjutan kehidupan hakiki sejak sebelum zaman teks ‘Uthmani,
kendati hanya setelah melewati pencarian kajian kritis keilmuan modern.
B. Contoh
Ragam Bacaan dan Hikmah Ragam Bacaan
1. Contoh
Ragam Bacaan
Kata
“maliki” dalam surat Al Fatihah ayat 4, di antara para ulama Qiraat ada yang
membacanya dengan memanjangkan mim dan adapula yang memendekkannya. Imam
‘Ashim, Al Kisa’i, Ya’qub dan Khalaf membacanya dengan mad (memanjangkan) huruf
mim yaitu menambahkan huruf alif setelahnya (menjadi: maaliki), sedangkan ulama
selain mereka membacanya tanpa mad, yaitu dengan memendekkan mim tanpa alif
(menjadi: maliki).
Kata
“alaihim” dalam ayat ketujuh, Imam Ibnu Katsir, Abu Ja’far dan Qalun membacanya
dengan mendhammahkan huruf mim dan memanjangkannya satu harakat (menjadi:
‘alaihimuu) jika disambung dengan kata setelahnya. Sedangkan Imam Hamzah dan
Ya’qub mendhammahkan ha’nya (menjadi: ‘alaihum) baik dalam keadaan berhenti
(waqaf) maupun bersambung (washal) dengan kata berikutnya. Selebihnya
membacanya dengan mengkasrahkan ha’ dan mensukunkan mim (menjadi: ‘alaihim)
baik dalam keadaan berhenti (waqaf) maupun bersambung (washal).
Demikian
pula ayat-ayat yang lain, perbedaan ragam bacaan itu hanya berkisar pada cara
membacanya saja, tidak sampai bertentangan satu sama lain dalam kesimpulan
hukum.
2. Hikmah
Turunnya al-Qur’an dengan Tujuh Ragam Bacaan
Banyak
sekali hikmah diturunkannya Al Quran dengan tujuh ragam bacaan. Berikut ini
beberapa di antaranya:
a. Memudahkan
umat Islam (khususnya bangsa Arab terdahulu) untuk membaca Al Quran sesuai
dengan dialek masing-masing atau dialek yang dianggap paling mudah, terutama
bagi kalangan wanita, orang tua dan anak-anak.
b. Menyatukan
bahasa umat Islam masa kini dengan bahasa persatuan, yaitu bahasa Arab Quraisy.
Telah maklum dalam sejarah bahwa dahulu kabilah-kabilah Arab sering berdatangan
di Makkah pada musim haji. Kabilah-kabilah itu memiliki dialek yang
berbeda-beda. Dari berbagai macam dialek itulah kaum Quraisy memilih kosakata
yang mereka nilai paling cocok lalu memasukkannya ke dalam kosakata bahasa
mereka sehingga bahasa mereka menjadi fleksibel. Jadi, bisa dikatakan bahwa
dialek Quraisy merupakan percampuran antar dialek bangsa Arab pada masa itu.
Ini pulalah yang dilakukan oleh Al Quran ketika memilih beberapa kosakata dari
kabilah-kabilah Arab yang paling cocok. Oleh karena itu, benar jika dikatakan
bahwa Al Quran diturunkan dengan bahasa Quraisy karena bahasa mereka telah
terangkum dalam bahasa Quraisy.
c. Menggabungkan
dua hukum yang berbeda dalam satu ayat sekaligus. Misalnya ayat yang berbunyi,
“Haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari
wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sampai mereka suci
(yath-hur-na).” (QS. Al Baqarah: 222) Dalam bacaan lain, “sampai mereka bersuci
(yath-thah-har-na).” Perbedaannya, dalam bacaan pertama tidak disyaratkan
bersuci (mandi janabah), jadi cukup dengan terputusnya darah haid maka saat itu
ia boleh digauli oleh suaminya karena ia telah menjadi suci (yath-hur-na).
Sedangkan bacaan kedua mensyaratkan bersuci (mandi) terlebih dahulu, jadi
sebelum mandi tidak boleh digauli, karena kata “yath-thah-har-na” artinya
adalah bersuci. Sebagian ulama mengkompromikan kedua bacaan itu dengan cara
menafsirkan bacaan pertama bagi wanita yang memiliki masa haid selama sepuluh
hari, sedangkan bacaan kedua bagi wanita yang memiliki masa haid lebih dari
sepuluh hari.
Jadi, wanita yang haidnya terputus setelah sepuluh hari dari masa haid, ia
boleh digauli oleh suaminya meskipun belum bersuci, sedangkan wanita yang
haidnya terputus sebelum sepuluh hari dari masa haid, ia disyaratkan untuk
bersuci (mandi) terlebih dahulu.
d. Menunjukkan
dua hukum yang berbeda dalam dua kondisi yang berbeda pula. Misalnya ayat yang
berbunyi, “maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah
kepalamu dan (basuhlah) kakimu (arjulakum, dengan lam maftuhah) sampai dengan
kedua mata kaki” (QS. Al Maidah: 6). Dalam bacaan lain, “dan (sapulah) kakimu
(arjulikum, dengan lam maksurah).” Hal ini menunjukkan dua hukum yang berbeda
yaitu membasuh (mencuci) kaki dan menyapu (mengusap) kaki. Dalam sunnah,
Rasulullah SAW telah menjelaskan bahwa jika seseorang tidak mengenakan khuf
ia diwajibkan mencuci kakinya, sedangkan jika ia memakai khuf, ia cukup
mengusap khufnya saja.
e. Menerangkan
maksud suatu ayat dan menghindari terjadinya kesalahpahaman. Misalnya ayat yang
berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan
sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah (fas’au) kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumuah: 9). Ayat ini seolah-olah
memerintahkan kita agar berjalan dengan tergesa-gesa (sa’i) untuk mendatangi
shalat Jumat, padahal dalam hadis disebutkan larangan mendatangi shalat dalam
keadaan tergesa-gesa. Namun dalam bacaan lain disebutkan, “maka bergeraklah
(famdhu) kamu kepada mengingat Allah.” Dari sini, dapat dipahami bahwa yang
dimaksud “bersegera” dalam bacaan pertama adalah “bergerak”, yaitu tanpa
ketergesa-gesaan. Hal ini sesuai dengan sunnah Nabi SAW yang melarang kita
tergesa-gesa ketika mendatangi shalat.
Sebagian
orang menyangka bahwa tujuh ragam bacaan yang dimaksud dalam hadis-hadis di
atas adalah tujuh Qiraat yang populer saat ini yaitu: Naafi’, Ibnu Katsiir, Abu
‘Amr, Ibnu ‘Aamir, ‘Aashim, Hamzah dan Al Kisaa’i. Anggapan ini sama sekali
tidak benar bahkan salah kaprah, karena ketika Rasulullah SAW bersabda tentang
tujuh ragam bacaan dalam Al Quran, para Qurra’ itu belum lahir. Kemungkinan
besar kerancuan ini disebabkan oleh pemilihan nama-nama Qurra’ yang hanya
dibatasi pada tujuh orang saja sebagaimana dilakukan oleh Imam Asy-Syathibi, sehingga
orang awam mengira bahwa tujuh Qurra’ itulah yang dimaksud tujuh ragam bacaan
dalam hadis Nabi SAW. Wallahu a’lam bish showab.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Para orientalis memandang penyebab
munculnya ragam bacaan, yaitu : Pertama, menurut Jeffery kekurangan
tanda titik dalam Mushaf `Uthmani berarti merupakan peluang bebas bagi pembaca
memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna ayat yang ia pahami.
Kedua,
metode mereka adalah untuk mengumpulkan semua pendapat, spekulasi, asas
praduga, dan kecenderungan untuk menyimpulkan melalui pemilihan clan penemuan
yang sesuai dengan tempat, waktu, dan kondisi pada waktu mengambil pertimbangan
teks tanpa menghiraukan mata rantai riwayat.
2. Perbedaan
ragam bacaan itu hanya berkisar pada cara membacanya saja, tidak sampai
bertentangan satu sama lain dalam kesimpulan hukum.
3. Hikmah
diturunkannya al-Qur’an dengan ragam bacaan, diantaranya : Memudahkan umat
Islam (khususnya bangsa Arab terdahulu) untuk membaca Al Quran sesuai dengan
dialek masing-masing atau dialek yang dianggap paling mudah, menyatukan bahasa
umat Islam masa kini dengan bahasa persatuan, yaitu bahasa Arab Quraisy,
menggabungkan dua hukum yang berbeda dalam satu ayat sekaligus.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zarqani,Syaikh.Manaahil
Al-‘Irfaan juz1.
Asy-Syari’ah,Shadr.At-Taudhih
Syarh At-Tanqih juz 2.
Prof.Dr.M.M.Al-Azami.2005.The
History of The Qur’anic Text : from Revelation to Complikation.Jakarta :
Gema Insani.